Lokakarya FKY 2018: Bebrayan Menjemput Impian
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Sebagai bagian dari program Paperu Festival Kesenian Yogyakarta 2018, program Lokakarya dihelat dengan lima tema di tempat berbeda. Mengambil tajuk "Bebrayan", lokakarya menjadi penanda kehadiran FKY 2018 tidak hanya di Planet Pyramid dan beberapa titik di Kota Yogyakarta namun menyebar pada berbagai tempat di wilayah Yogyakarta.
"Beberapa tempat persinggahan lokakarya meminta untuk ada kelanjutan dari lokakarya yang diselenggarakan. Ini akan menjadi entry point bagi panitia," jelas koordinator Lokakarya FKY Awaluddin G Mualif atau biasa dipanggil Udin kepada satuharapan.com saat ditemui Minggu (5/8) siang.
Bebrayan secara kata bisa berarti rumah atau masyarakat. Udin menjelaskan tema "Bebrayan" menjadi tafsir ulang perluasan seni di masyarakat sehingga tidak sekedar dekat namun juga memiliki dimensi mengayomi dan melindungi.
Lokakarya pertama dilaksanakan di Dusun Sembung, Purwobinangun, Pakem, Sleman, pada Kamis (26/7) dengan materi membatik dengan teknik jumputan (tie dye). Acara yang dipandu oleh Putri Ali Mukti diikuti ibu-ibu PKK Dusun Sembung dan beberapa pelajar.
Lokakarya kedua dilaksanakan pada Minggu (29/7) dengan materi melukis di atas kipas (fan art) dengan pemateri Laksmi Sitharesmi dan Kepodang Art Space, dalam waktu bersamaan Masyarakat Turut Kali (Maturka) bersama masyarakat melakukan kegiatan gogoh (menangkap ikan dengan menggunakan tangan) di sungai yang sudah jarang dilakukan oleh masyarakat bahkan mungkin sudah menjadi hal yang tidak pernah dijumpai oleh anak-anak saat ini. Hilangnya budaya sungai yang menghidupi bisa terbaca dari rupa sungai di berbagai tempat dengan air yang keruh, berbau, dan penuh sampah. Dalam konteks bebrayan, lokakarya di Dusun Bintaran Piyungan-Bantul mengajak kembali menggali kesadaran: sungai adalah jembatan peradaban.
Di saat sebagian besar daerah aliran sungai (DAS) di Indonesia mengalami kerusakan akibat dari perubahan tata-guna lahan, pertambahan jumlah penduduk, arah kebijakan pembangunan, serta kurangnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya menjaga lingkungan DAS, lokakarya yang dipandu Maturka menawarkan hal yang menarik: ketika masyarakat berusaha untuk menghidupi dan menghidupkan kehidupan sungai, pada saat yang bersamaan sungai pun menawarkan kehidupan yang selaras dengan aktivitas manusia di atasnya.
Lokakarya ketiga juga turut dimeriahkan penampilan Hole Teater dan Keluarga Pelajar Mahasiswa Banyuwangi Yogyakarta (KPMBY) yang mempersembahkan ‘Bhre Stya Palastra’, dan penampilan dari Genk Kobra.
Pada Selasa (31/7) lokakarya dilaksanakan di Gereja Pringgolayan, Banguntapan-Bantul dengan materi "Bermain dengan Tanah Liat" yang dipandu seniman muda Alvis Noor, sementara lokakarya keempat "Melukis di Batu’ (Stone Art)" dihelat di Paguyuban Pengajar Pinggir Sungai (P3S) Kali Code-Sleman, Jumat (3/8) oleh seniman muda Syera dilanjutkan dengan pementasan musikalisasi puisi.
Lokakarya terakhir dilaksanakan pada Minggu (5/8) siang di Pondok Pesantren Sunan Pandanaran Ngaglik-Sleman dengan materi membuat taplak meja dengan teknik batik jumputan serta membuat Wayang Sesuk dengan bahan dari kertas stawboard yang dipandu oleh Sanggar Malaya dan Nurisma.
Selain lokakarya-lokakarya yang digelar di lokasi-lokasi tersebut, ada lagi sebuah lokakarya ‘Bunda Kata’ dengan tema ‘Dunia Bersama’. Lokakarya yang sifatnya non-ruang dibuka bagi siapa saja yang berminat dan berkenan mengirimkan tulisan berupa puisi, cerpen, esai, opini, komik strip, ilustrasi dalam batasan kertas A4, semacam Zine. Tema besar ‘Dunia Bersama’ mencoba untuk merespon situasi hari ini lewat prespektif yang berbeda-beda. repsentasi karya lokakarya "Bunda Kata" akan berlangsung 6-9 Agustus 2018
“Rumah (seharusnya bisa) menjadi surga (bagi siapapun). Di dalam rumah kita harus bisa mesem (tersenyum) dan semeleh (ikhlas menerima) untuk mengendorkan urat saraf supaya keseimbangan kehidupan tercapai.” jelas Udin. Dengan begitu lokasi lokakarya dipilih menyebar dan beragam yang pada nantinya disebar-kabarkan kepada yang lainnya, sekaligus melibatkan pelaku seni muda (komunitas, ruang kolektif, individu) tidak sekedar mewarnai namun juga menanamkan rasa bagi perjalanan dinamika itu sendiri di masa datang.
Begitulah bebrayan seharusnya dibangun bersama: memandang ruang bukan sebagai sebuah entitas yang kosong dan sepi di tengah keriuhan, namun juga memahami perdebatan-pergulatan dialog-dialektika dengan keterlibatan banyak pihak berbagai arah dalam entitas kecil sekalipun. Ini sekaligus menjadi tantangan bagi Yogyakarta, sudahkah istimewa urip bebrayan-nya?
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...