Longsor Sukabumi: Tidak Layak Huni tapi Sulit Pindahkan Warga
SUKABUMI, SATUHARAPAN.COM – Masyarakat di Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat, tidak mengantisipasi bencana tanah longsor yang terjadi pada malam Tahun Baru 2019, meski mengetahui daerah tersebut rawan bencana, menurut perangkat daerah setempat.
Camat Cisolok, Asep Mauludin, mengatakan "tidak diprediksi ada gejala-gejala untuk longsor" di Kampung Cimapag, yang kini rata tanah.
Seorang pejabat Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) menjelaskan, kawasan tersebut merupakan daerah rawan dan "tidak layak untuk dihuni", tapi sulit meyakinkan warga untuk pindah.
Sebagian besar wilayah Kabupaten Sukabumi rentan longsor, menurut data.
Bencana longsor pada Selasa (31/12), menjelang waktu salat Magrib itu, dipicu oleh hujan deras selama beberapa jam. Warga Kampung Cimapag, Bohana, mengatakan peristiwa itu terjadi secara tiba-tiba.
"Mendengar suara itu ngahiung (mendengung), dari rumah langsung mau keluar nengok itu longsor. Begitu nengok longsor ternyata sudah terlihat, sudah sampai rumah," kata Bohana seperti dilaporkan wartawan di Sukabumi, Rizal, yang dilansir BBC News Indonesia, pada Rabu (2/1).
Laki-laki berusia 35 itu mengaku menyadari tinggal di daerah rawan longsor, tapi ia tidak pernah disuruh untuk pindah.
Kampung Cimapag terletak di bawah bukit terjal di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Daerah tersebut memiliki tanah gembur yang mudah longsor ketika curah hujan tinggi.
Namun, Asep Mauludin mengatakan, warga tak mengira longsor akan terjadi.
"Sebelumnya memang tidak diprediksi bahwa ini akan terjadi longsor karena mungkin sudah berpuluh-puluh tahun warga menghuni," katanya.
Kini, puluhan rumah di Kampung Cimapag tertimbun tanah. Sebanyak 15 warga ditemukan meninggal dunia sementara 20 lainnya dinyatakan hilang, menurut Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Sukabumi.
Tidak Layak Dihuni
Kepala Seksi Kedaruratan BPBD Kabupaten Sukabumi, Eka Widiaman, mengatakan Kecamatan Cisolok memang rawan banjir dan longsor. Tanah longsor terjadi di daerah tersebut setiap tahun sejak 2010.
"Dan memang yang terbesar pada tahun ini, akhir 2018," katanya dalam jumpa pers di Posko Tanggap Darurat Bencana di Kampung Cimapag, Selasa (01/01).
Menurut Eka, berdasarkan pengamatan sementara, daerah tersebut sangat rentan terjadi pergerakan tanah dan tidak layak dihuni. Namun sulit meyakinkan warga untuk pindah.
"Kawasan itu merupakan suatu prioritas kita untuk melakukan mitigasi bencana dari awal. Hanya memang penduduk sini punya adat yang berbeda dari yang di kota. Jadi mereka itu menempati tempat-tempat yang memang mendekati ke area pertanian. Mereka tidak pernah memikirkan kondisi bangunan yang ada," katanya.
Komandan Korem 061/Suryakancana, Kolonel (Inf) M Hasan, yang juga hadir dalam jumpa pers, menambahkan warga berladang dengan membuat terasering di lereng bukit.
"Dijadikan sebagai ladang, dengan menanam tanaman-tanaman yang singkat dan tidak mempunyai akar yang kuat, itulah yang menjadi penyebab [longsor]," katanya.
Apa Penyebab Longsor?
Pakar dari Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, Adrin Tohari, menjelaskan, penyebab tanah longsor di Kampung Cimapag salah satunya adalah kondisi tanah yang gembur.
"Tanah gembur itu kan mempunyai kuat geser atau shear strength yang sangat rendah, jadi mudah sekali kekuatannya hilang ketika terkena penetrasi air hujan," katanya.
Namun, ia menilai kondisi air di kawasan tersebutlah yang menjadi faktor dominan. Terdapat aliran air di bawah permukaan tanah yang kemudian naik, sehingga menyebabkan lereng di situ menjadi lebih labil dibandingkan lereng di sekitarnya.
"Air hujan itu akan mudah menjenuhi lereng itu, karena di situ ada zona-zona air tanah yang terperangkap, yang mudah meningkatkan tekanan air pori dalam tanah," katanya.
Tapi Kecamatan Cisolok bukanlah kasus unik. Menurut Pusat Volkanologi dan Bencana Geologi, Kementerian ESDM, lebih dari 50 persen wilayah Kabupaten Sukabumi rentan longsor.
Peta yang diterbitkan PVMBG pada Desember 2018, menunjukkan sebagian besar wilayah Kabupaten Sukabumi memiliki potensi tinggi untuk terjadinya gerakan tanah. Itu berarti di wilayah-wilayah tersebut dapat terjadi gerakan tanah jika curah hujan di atas normal, meski tidak semuanya merupakan wilayah permukiman.
Menurut Adrin Tohari, hal itu karena banyak daerah di Kabupaten Sukabumi yang tersusun dari material gunung api muda. Batuan-batuannya belum mengalami pemadatan sehingga kekuatannya sangat rendah.
"Nah, daerah-daerah yang terbentuk oleh endapan-endapan gunung api muda itu, tanah hasil pelapukannya menjadi tanah yang gembur, maka ia akan lebih rentan terhadap longsoran gerakan tanah dibandingkan daerah-daerah yang tersusun oleh batuan-batuan yang lebih padat."
"Lereng di sana, rata-rata dari mulai agak terjal sampai terjal dan biasanya longsoran terjadi pada lereng-lereng seperti itu," katanya.
Maka dari itu, menurut Adrin, pihak berwenang perlu meningkatkan kapasitas masyarakat yang sudah lama tinggal di daerah rawan bencana, demi mengurangi risikonya. Harapannya, masyarakat punya kesadaran untuk evakuasi mandiri ketika terjadi hujan.
Adrin menilai, upaya yang selama ini dilakukan BPBD belum menjangkau semua masyarakat di daerah rawan, karena sulitnya akses. "Biasanya hanya mencakup daerah-daerah kecamatan yang aksesnya sangat mudah. Untuk bisa mencapai daerah-daerah yang terpencil seperti kampung, dusun itu masih agak sulit yah," katanya.
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...