LP3BH Ajak Masyarakat Papua Peringati 48 Tahun Pepera
MANOKWARI, SATUHARAPAN.COM - Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM), masyarakat sipil dan adat Papua akan memperingati 48 tahun Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada hari Sabtu 15 Juli 2017 di Manokwari.
Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Yan Christian Warinussy, mengatakan pihaknya bersama masyarakat sipil dan adat akan menyelenggarakan ibadah syukur sekaligus aksi menyalakan lilin serta pembacaan petisi. Ini dimaksudkan sebagai peringatan terjadinya dugaan pelanggaran hak asasi rakyat Papua di bidang politik dan hukum akibat dilaksanakannya Pepera.
Mengutip fakta sejarah, Yan Christian mengatakan pada tanggal 15 Juli 1969, act of free choice dilaksanakan mulai dari Merauke, kemudian diteruskan ke Wamena, Nabire, Fakfak, Sorong, Manokwari, Biak dan berakhir pada tanggal 4 Agustus 1969. Sekitar 1.025 orang perwakilan rakyat Papua menyatakan Tanah Papua berintegrasi dengan Republik Indonesia.
Dalam perjalanannya, Kongres II Rakyat Papua di Jayapura Mei 2000 menyatakan bahwa penyelenggaraan act of free choice mengandung cacat hukum dan diduga keras telah pada saat itu terjadi manipulasi hak-hak politik rakyat Papua serta pelanggaran hak asasi manusia yang berat oleh negara melalui aparat keamanan dari TNI dan Polri ketika itu (1969) di sejumlah kota, termasuk di Manokwari.
Yan Christian menambahkan, LP3BH melalui riset yang dilakukan pada tahun 1999 mencatat dan menemukan data bahwa pada 28 Juli 1969 atau satu hari sebelum diselenggarakannya act of free choice pada 29 Juli 1969 di gedung Wilhemina (kini Kantor DPR Papua Barat) telah terjadi pembunuhan kilat (summary execution) terhadap sekitar 53 orang warga sipil Orang Asli Papua (OAP) di Arfay-Manokwari.
Ia mengatakan hingga kini Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sebagai institusi negara yang berkompeten belum melakukan tindakan apapun dalam menyikapi informasi yang sudah disampaikan LP3BH menyangkut kasus Arfay 1969 tersebut.
Yan Christian berpendapat telah terjadi dugaan pelanggaran HAM yang berat sebagaimana dimaksud dalam pasal 7, pasal 8 dan pasal 9 dari Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM telah terjadi pada saat pelaksanaan act of free choice (tindakan pilihan bebas) atau pepera tersebut di Manokwari, Biak, Jayapura, Sorong dan juga Wamena serta Nabire.
Kasus-kasus tersebut, kata dia, harus didesak untuk tidak boleh dilupakan oleh Negara Republik Indonesia untuk diselesaikan berdasarkan amanat Undangan Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang pengadilan HAM dan Pasal 45 serta Pasal 44 Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.
Editor : Eben E. Siadari
Kekerasan Sektarian di Suriah Tidak Sehebat Yang Dikhawatirk...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Penggulingan Bashar al Assad telah memunculkan harapan sementara bahwa war...