LPSK: Pemerintah Sudah Optimal Lindungi Anak
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Kemauan politik (political will) pemerintah sudah optimal dalam melindungi anak, kata Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Askari Razak di Jakarta, Jumat (15/5).
Hal itu, menurut dia, bisa dilihat dari disahkannya undang-undang yang mengatur mengenai anak, mulai dari Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang telah direvisi melalui UU No 35 Tahun 2014, serta UU No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak, kemudian pengesahan UU No 10 Tahun 2012 tentang Pengesahan Protokol Opsional Konvensi Hak-hak Anak Mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak.
Melalui siaran pers, ia mengatakan perlindungan terhadap anak juga tertuang khusus dalam Pasal 29A UU No 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Askari Razak menyampaikan hal itu dalam dialog bersama perwakilan ECPAT Indonesia dan ECPAT Belanda di kantor LPSK, Jakarta, Rabu (13/5).
Dari ECPAT Indonesia hadir koordinatornya Ahmad Sofyan dan ECPAT Belanda yakni Theo Noten, sedangkan dari LPSK, hadir dua wakil ketua lainnya, yaitu Edwin Partogi Pasaribu dan Lies Sulistiani didampingi jajaran, selain Razak.
Pada dialog itu, Koordinator ECPAT Indonesia Ahmad Sofyan mengajak LPSK untuk bersama-sama mendorong pemerintah melaksanakan Protokol Opsional Konvensi Hak-hak Anak Mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak yang telah diratifikasi melalu UU No 10 Tahun 2012. Apalagi, antara ECPAT Indonesia dan LPSK sebelumnya sudah sempat bekerja sama, seperti menggelar seminar membahas kasus kekerasan seksual terhadap anak.
"LPSK dan ECPAT bekerja di bidang yang sama, yakni memberikan perlindungan kepada korban, termasuk anak di dalamnya," kata Sofyan.
Perwakilan ECPAT Belanda Theo Noten menuturkan, pada dasarnya penanganan kasus kekerasan seksual anak hampir sama di setiap negara, yakni bagaimana memulihkan psikologi anak dan masa depannya.
Meskipun payung hukum perlindungan bagi anak sudah tersedia, Theo mengakui, dalam implementasinya dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Namun, sudah seharusnya ada prioritas dan tidak perlu menunggu sikap politisi dalam penanganan kekerasan seksual anak.
"Indonesia negara besar dengan jumlah penduduk yang besar, jadi agak sulit membandingkannya dengan Belanda. Hanya di Belanda, khusus kasus kekerasan anak, tersedia polisi khusus," katanya.
Dia mengatakan saat ini di Belanda juga tengah diupayakan menyediakan dokter, polisi, dan psikolog dalam satu area khusus bagi penanganan anak korban kekerasan seksual.
Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu mengatakan kekerasan seksual anak menjadi salah satu kasus prioritas yang ditangani LPSK.
Dia mengungkapkan ada banyak kasus melibatkan anak yang ditangani LPSK, mulai dari kekerasan dalam rumah tangga, penganiayaan, prostitusi, dan tindak pidana perdagangan orang.
Namun, kata Edwin, sesuai mandat Pasal 29A UU No 31 Tahun 2014, ada beberapa persyaratan yang harus dikantongi LPSK dalam memberikan perlindungan bagi anak, antara lain harus mendapatkan izin dari orang tua anak yang bersangkutan.
Khusus dalam kasus di mana diduga orang tua sebagai pelaku atau berperan menghalang-halangi, LPSK tidak diwajibkan mendapatkan izin orang tua dan cukup perintah dari pengadilan. (Ant)
Pesan Natal KWI-PGI Tahun 2024
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM-Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dan Konferensi Waligereja Indo...