LSM: Harga Tanah Melonjak Tanpa Instrumen Pengendali
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Lembaga swadaya masyarakat Indonesia Property Watch mengatakan, harga tanah semakin melonjak dan hingga kini belum ada lembaga yang kredibel menjadi pengendali lonjakan tersebut.
" Saat ini harga tanah semakin hari bertambah naik tanpa ada instrumen yang dapat menahannya, sehingga semua diserahkan pada mekanisme pasar," kata Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch Ali Tranghanda dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu (28/3).
Menurut dia, bila program sejuta rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah digulirkan pemerintah, sementara harga tanah semakin hari bertambah naik, maka tidak ada bedanya dengan rumah komersial umum biasa.
Dengan demikian, harga rumah tersebut dinilai semakin lama bertambah tidak terjangkau juga. "Dan akhirnya program sejuta rumah hanya sebatas mimpi," kata Ali.
Indonesia Property Watch, menilai bahwa kesiapan tata ruang sebuah daerah disertai dengan kesiapan bank tanah milik pemerintah akan menjamin ketersediaan rumah untuk rakyat.
Ia mencontohkan, bila tanah pemerintah dipatok harganya Rp 500.000 per meter persegi, sedangkan di sebelahnya tanah komersial, kenaikan tanah komersial itu dinilai akan tidak terlalu tinggi lagi.
"Peran ini yang seharusnya diberlakukan pemerintah terkait konsep bank tanah. Konsep bank tanah sebenarnya sudah dilakukan pada zaman orde baru dengan konsep lisiba (lingkungan siap bangun) dan kasiba (kavling siap bangun). Peran swasta, dalam penyediaan public housing sepertinya tidak boleh terlalu dominan lagi," katanya.
Ali menegaskan, kebijakan bank tanah tidak bisa hanya dibicarakan dan ditetapkan dengan sebatas peraturan menteri, melainkan Presiden harus turun tangan sehingga tanah-tanah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) /Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)/Pemda dapat segera dimanfaatkan dan para pejabat tidak takut untuk bertindak.
Sebelumnya, Indonesia Property Watch meminta pemerintah jangan sampai terlambat dalam membangun hunian vertikal di wilayah DKI Jakarta, karena jumlah populasi yang terus meningkat serta harga tanah yang kian melambung.
"Layaknya sebuah kota besar dengan nilai tanah yang semakin tinggi, maka siap tidak siap, penduduk sebuah kota seperti di Jakarta akan tinggal di hunian vertikal atau apartemen," kata Ali Tranghanda.
Menurut Ali Tranghanda, harga tanah yang tinggi memaksa para pengembang untuk membangun gedung secara vertikal termasuk membangun apartemen.
Namun, sangat disayangkan masih sedikit apartemen yang sesuai dengan daya beli kaum pekerja di perkotaan.
Dengan kondisi saat ini, para pekerja tersebut terpaksa harus membeli rumah di pinggiran Jakarta yang jaraknya juga tidak bisa dibilang dekat, atau mengontrak/menyewa di Jakarta.
"Semakin lama harga yang semakin tinggi pun untuk menyewa kos-kosan akan membuat banyak tempat-tempat yang kumuh karena daya beli terbatas dan pasokan hunian rendah kualitasnya," kata Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch.
Untuk itu, Ali menginginkan pemerintah dalam hal ini Pemprov DKI Jakarta harus segera membangun apartemen untuk karyawan yang ada di Jakarta yang sebagian besar saat ini masih sebagai kaum komuter.(Ant)
Editor : Eben Ezer Siadari
Jenderal Rusia Terbunuh oleh Ledakan di Moskow, Diduga Dilak...
MOSKOW, SATUHARAPAN.COM-Kementerian Luar Negeri Rusia mengatakan pada hari Rabu (18/12) bahwa Rusia ...