LSM Papua Minta RI dan Freeport Penuhi Hak Suku Amungme-Kamoro
JAYAPURA, SATUHARAPAN.COM - Walhi Papua dan Foker LSM Papua, menuntut pertanggungjawaban Pemerintah Indonesia dan PT. Freeport Indonesia (PTFI) memperbaiki berbagai kerusakan lingkungan yang terjadi di tanah ulayat adat suku Amungme dan Kamoro yang menjadi penerima dampak langsung kondisi lingkungan fisik yang berubah karena eksploitasi pertambangan dari aktifitas PTFI.
"Pemerintah Indonesia dan PT. Freeport telah bersama-sama bersepakat untuk menggali dan membuang tanah yang ada di gunung tanah ulayat adat suku Amungme dan mengambil biji-biji tembaga serta emas, dan membuang tanah (B3) sebagai tailing dari ulayat Amungme masuk ke ulayat adat Kamoro," demikian siaran pers yang ditandatangani Eksekutif Daerah Walhi Papua, Aiesh Rumbekwan dan Foker LSM Papua, Decky Rumaropen.
"Panorama ini sangat memprihatinkan dan menyedihkan manakala tidak ada solusi yang baik dan adil terhadap masyarakat Amungme dan Kamoro dalam konflik antara Pemerintah Indonesia dan PT. Freeport. Hal ini menjadi semakin nyata bahwa baik suku Amungme maupun Kamoro telah dan sedang masuk dalam catatan sejarah dunia pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh PT. Freeport dan/atau PEmerintah Indonesia terhadap hak-hak ekonomi dan social budaya (ecosob) kedua suku tersebut," demikian siaran pers tersebut.
Aiesh Rumbekwan, mengatakan persoalan utamanya bukan mengenai tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility/CSR) melainkan perusahaan tambang raksasa tersebut tidak memberikan keamanan dan kenyamanan bagi penduduk suku Amungme dan Kamoro.
“Walhi tidak bicara soal bantuan CSR. Tapi kehadiran perusahaan selama 50 tahun (Freeport), tidak memberi rasa keamanan dan kenyamanan bagi penduduk lokal (Amungme dan Kamoro),” kata Aiesh Rumbekwan kepada satuharapan.com, dalam pesan singkat hari Jumat (24/2).
Dalam siaran pers, hari Kamis (23/2), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Papua dan Forum Kerja Sama Lembaga Swadaya Masyarakat (Foker LSM) Papua, juga meminta Pemerintah Indonesia dan PT. Freeport sebelum melanjutkan pembuatan kontrak baru perlu dengan sungguh-sungguh menyelesaikan permasalahan masa depan kehidupan masyarakat adat suku Amungme dan Kamoro.
“Dunia telah tahu bahwa perusahaan tambang tembaga dan emas terbesar di dunia berada di Kabupaten Mimika, Papua. Dengan demikian bilamana Pemerintah Indonesia mengganti mitra perusahaan tambang PT. Freeport dengan perusahaan lain maka hal utama dan terutama yang dilakukan adalah menyelesaikan konflik kehidupan masa lalu saat ini, dan masa depan dari suku Amungme dan Kamoro di wilayah tersebut,” katanya.
Kedua LSM Papua itu mendesak Pemerintah Indonesia dalam memperbaiki (amandemen) kontrak karya (KK) maupun Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), wajib memposisi masyarakat adat pemilik hak ulayat dengan jelas dan tegas dalam dokumen tersebut dengan memasukan pasal-pasal yang memuat dan menjamin tuntutan kehidupan masyarakat suku Amungme dan Kamoro untuk masa depan kehidupan mereka yang telah menerima dampak dari operasi penambangan.
“Pemerintah diminta bersikap tegas mencari solusi mengatasi jumlah pengganguran sebagai akibat dari penghentian sementara operasi penambangan,” katanya.
Prioritas Penyelesaian Konflik
Walhi Papua mengatakan, bahwa telah sangat terang benderang kondisi kehidupan sebagian besar suku Amungme dan Kamoro yang belum pernah beruntung secara berkelanjutan di hadapan PTFI.
“Freeport telah menimbulkan keprihatinan kami karena perusahaan ini telah bekerja selama 50 tahun (1967-2017) atau 1/2 abad, belum menjawab ketentraman dan kenyamanan batin dari sebagian besar anggota masyarakat Suku Amungme dan Kamoro yang menjadi penerima dampak langsung dari aktifitas PT. Freeport,” katanya.
Kelompok Masyarakat Sipil itu merekomendasikan bahwa prioritas penyelesaian konflik Pemerintah Indonesia dan PT. Freeport dengan masyarakat suku Amungme dan Kamoro adalah memperbaiki lingkungan yang telah rusak akibat operasi penambangan PT. Freeport dan Pemerintah Indonesia dan menjawab tuntutan penduduk asli yang dirugikan selama 50 tahun perusahaan beroperasi.
“Hal ini menjadi keprihatinan kami oleh karena bilamana tak ada solusi untuk mendamaikan pemerintah Indonesia dan PT. Freeport, maka lembaga mana yang akan bertanggungjawab memperbaiki kerusakan lingkungan selama sekian tahun,” katanya.
Editor : Eben E. Siadari
Otoritas Suriah Tunjuk Seorang Komandan HTS sebagai Menteri ...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Penguasa baru Suriah telah menunjuk Murhaf Abu Qasra, seorang tokoh terkem...