Luhut: Kejujuran Harus Jadi Aspek Utama
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia Luhut Pangaribuan mengatakan sistem peradilan Indonesia tidak menempatkan kejujuran sebagai aspek utama.
“Dalam sistem peradilan di Indonesia, slogan Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) yakni kejujuran terletak di belakang,” ucap Luhut dalam Focus Group Discussion Persekutuan Inteligensia Sinar Kasih (PISK) yang membahas bidang Hukum dan HAM, di Gedung Sinar Kasih, Jalan Dewi Sartika 136 D, Cawang, Jakarta Timur, Rabu (17/9).
Dalam sistem persidangan di Indonesia, terdakwa biasanya diperiksa terakhir kali, dan kejujuran hanya digunakan untuk meringankan hukuman. “Itu membuat kejujuran jadi tak bermakna, karena hanya digunakan sebagai alat untuk meringankan hukuman” kata dia.
Seharusnya, lanjut Luhut, kejujuran itu diletakkan di depan untuk memberi kesempatan bagi terdakwa mengakui kesalahan dan meminta maaf.
“Misalnya, ada pertanyaan benarkah Saudara melakukan kejahatan? Kemudian bila betul, bersediakah Saudara memulihkan kejahatan saudara, kalau berkaitan dengan harta benda bersediakah mengembalikannya,” dia menjelaskan.
Jadi menurut Luhut, kejujuran seharusnya diletakkan di depan. Dengan kata lain, sistem peradilan di Indonesia menempatkan kejujuran di tempat yang utama.
KPK Ideal?
Sebelumnya, Dosen FH UI tersebut mempertanyakan hasil yang diberikan KPK, apakah sudah sebanding dengan biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah.
“Untuk menjadi pejabat, sekarang marak terjadi tindak korupsi. Sehingga muncul pertanyaan, dengan adanya KPK apakah hal itu berkurang atau telah menghilang?” kata dia.
“KPK adalah lembaga yang dibayar mahal karena memang dibutuhkan, namun hasil yang didapat apakah sudah sebanding?” Luhut menambahkan.
Menurut dia, dengan dibentuknya KPK maka Indonesia mengurangi eksistensi due process of law, dan segala bentuk kerahasiaan tidak berlaku.
“Bahkan kini sudah sampai rahasia pribadi dengan adanya penyadapan, pada satu sisi ini spektakuler dengan Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan KPK, namun dampaknya bisa menimbulkan perpecahan keluarga karena percakapan yang disebarkan,” ucap dia.
Dukungan Pers
Meski demikian, Luhut menyampaikan bahwa mengkritisi KPK saat ini tidak populer, karena KPK mendapat dukungan pers yang luar biasa. Tapi hal itu justru menghadirkan pertanyaan apakah hal tersebut mengarah pada sistem atau tujuan penegakan hukum yang diharapkan dan ideal.
“Sebab bila diingat dulu ada model penegakan hukum seperti Pelaksana Khusus (Laksus), Tim Pemeriksa Pusat (Teperpu), serta Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), yang dianggap tidak baik. Karena, misalnya Satuan Tugas (Satgas) Komkamtib itu bisa menahan orang langsung,” kata dia.
“Mysterius killing (Petrus, red) juga dulu ada sebagai jalan singkat untuk menegakkan hukum, namun tidak bertahan lama karena dianggap tidak benar juga,” Luhut menambahkan.
Oleh karena itu, ia menganggap pembentukan KPK berawal dari dua asumsi. “Pertama, tidak efektifnya jaksa dan polisi, kedua, bentuk kemarahan terhadap situasi zaman orde baru,” kata dia.
Editor : Bayu Probo
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...