LWF dan Universitas Nommensen Kembangkan Budaya Toleransi
MEDAN, SATUHARAPAN.COM â Bekerja sama dengan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) dan Fakultas Hukum (FH) Universitas HKBP Nommensen Medan (UHN), Komite Nasional Lutheran World Federation (KN-LWF) menyelenggarakan seminar dan lokakarya bertema âMembangun Fondasi Budaya Toleransi di Kampusâ, Senin-Selasa (3-4/11) di Medan.
Dalam sambutan, Dekan FH UHN Martin Simangungsong, mengapresiasi seminar dan lokakarya ini. Baginya, sangat jarang mahasiswa Kristen bisa duduk bersama dalam forum resmi untuk membicarakan topik toleransi.
Ini ditegaskan juga oleh Koordinator Divisi Desk HAM dan Advokasi KN-LWF, Fernando Sihotang, yang dalam sambutannya menyampaikan selain jarang duduk bersama, mahasiswa Kristen juga jarang diberikan kesempatan oleh gerejanya untuk mengeksplorasi budaya toleransi. Maka, menurut Fernando Sihotang, KN-LWF memberikan ruang bagi mahasiswa Kristen untuk itu dalam format seminar dan lokakarya.
Antusiasme besar terlihat di wajah mahasiswa peserta seminar tersebut. Ada sekitar 400-an, jumlah yang tidak sedikit. Para pembicara yang mengisi sesi di seminar tersebut adalah pegiat toleransi beragama, seperti Prof. Dr. Katimin (guru besar IAIN Sumut), Johny Nelson Simanjuntak, SH (Komisi Hukum PGI), Â Drs. Charles Sianturi, MSBA (Dekan Fisip), Pdt Dr. Batara Sihombing (STT Abdi Sabda).
Katimin melihat bahwa dalam teologi Islam juga ada pembahasan tentang toleransi. Lebih lanjut, guru besar IAIN Sumut ini menyampaikan bahwa Islam merupakan agama damai. Jika ada yang melakukan kekerasan atas nama Islam itu merupakan orangnya yang kurang memahami esensi dari Islam, lanjutnya.
Sedangkan, Pdt Batara Sihombing menyampaikan gereja bertoleransi bukan karena takut hukum tetapi karena tugas dan panggilan gereja dalam rangka menyatakan tanda-tanda kehadiran Kerajaan Allah di tengah dunia. Yesus hadir di dunia melewati batas primordial. Pelayanan Yesus banyak bertumpu pada pelayanan.
Senada dengan itu, Johny Nelson Simanjuntak menyampaikan bahwa toleransi sering menjadi wacana semata. Dimensi toleransi dibutuhkan untuk membuka ruang, misalnya: tidak cukup umat Kristen mempersilakan umat Muslim untuk salat, tetapi umat Kristen juga harus menganjurkan agar umat Muslim untuk salat. Toleransi harus menjadi etos. Ada tiga pembentuk toleransi, yaitu: pendidikan, pengalaman, dan kondisi sosial.
Hal tersebut diamini oleh Drs. Charles Sianturi, MSBA, yang menegaskan budaya toleransi harus dibangun lewat kurikulum pendidikan. Lebih lanjut, beliau menyatakan bahwa selama ini selalu berkembang pengistilahan mayoritas-minoritas yang mana dalam budaya toleransi jelas-jelas istilah ini merupakan istilah politik. Akibatnya, banyak kesalahan yang harus dimaklumi. Padahal, toleransi itu adalah hal memahami perbedaan dan bukan memaklumi kesalahan.
Selain itu, tujuannya dalam membangun budaya toleransi lewat dunia kampus, yaitu menggali potensi di kampus untuk menciptakan budaya toleransi, capaian-capaian diramu lewat lokakarya melibatkan 25 orang mahasiswa yang terpilih.
Lokakarya difasilitasi oleh Jeirry Sumampouw (Sekretaris Eksekutif Diakonia PGI) dan Johny Nelson Simanjuntak untuk membentuk pemahaman dalam bentuk rekomendasi target capaian ke depan, baik oleh gereja dan kampus.
Setidaknya ada tiga rekomendasi yang berhasil dirumuskan dalam lokakarya tersebut, yaitu soal wawasan, pemahaman, dan komunikasi dalam membangun budaya toleransi. Gagasan menarik dari lokakarya tersebut yaitu memahami pentingnya dialog antara-iman lewat proyek bersama (common project) oleh segenap agama. Sebuah proyek agar agama-agama tidak dapat dikategorikan sebagai objek yang berbeda.
Proyek bersama inilah yang akan diinisiasi oleh KN-LWF dan UHN Medan sebagai strategi pembudayaan toleransi di tingkatan gereja dan masyarakat.
Penyakit Pneumonia Terus Menjadi Ancaman bagi Anak-anak
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM-Wakil Menteri Kesehatan, Dante Saksono Harbuwono, mengatakan, pneumonia ser...