Maha Mamo, Perjalanan Panjang Demi Mendapatkan “KTP”
SATUHARAPAN.COM – Maha Mamo dan saudara perempuannya, Souad Mamo, kini sudah bisa tersenyum lega. Untuk pertama kali dalam hidup, mereka memiliki kartu identitas, yang menyatakan mereka sebagai warga suatu negara.
Melalui proses naturalisasi, mereka menjadi warga negara Brasil. Berayah dan beribu Suriah, namun berbeda agama – ayah beragama Kristen dan ibu beragama Islam, yang membuat pernikahan mereka tidak diakui oleh negara - menyebabkan anak-anak tumbuh besar “tanpa kewarganegaraan”.
Sebagai seorang anak, Maha Mamo tidak diizinkan untuk melakukan perjalanan sekolah di luar Lebanon, tempat ia dilahirkan. Ketika anak-anak lain pergi dengan bus ke Suriah atau Yordania, ia tetap tinggal. Dan, meskipun ia adalah salah satu yang terbaik di olahraga bola basket, ia tidak pernah bisa mewakili negaranya dalam kompetisi.
Mengapa? Maha Mamo tidak memiliki kewarganegaraan. Maha tidak bernegara. Situasi itu muncul dari jaringan undang-undang dan praktik-praktik restriktif tentang kebangsaan di dua negara: Suriah dan Lebanon.
Dari situs resmi unhcr.org dapat dibaca, oang tua Maha adalah warga negara Suriah yang beragama berbeda, ayahnya Kristen dan ibunya Muslim. Karena perkawinan campuran iman itu tidak diakui di Suriah, orang tua Maha pindah ke Lebanon, tempat Maha dan saudara-saudaranya dilahirkan.
Karena ayah Maha orang Suriah, menurut hukum kewarganegaraan Suriah, ia seharusnya diakui sebagai warga negara Suriah. Namun, dengan orang tua yang beragama campuran, yang tidak mungkin mendaftarkan pernikahan atau kelahiran anak-anaknya, tidak memungkinkan pula Maha dan saudaranya diakui sebagai warga negara Suriah atau memperoleh dokumen untuk membuktikan itu.
Namun, Maha juga tidak dianggap orang Lebanon, karena hukum di sana tidak memungkinkan untuk memperoleh kewarganegaraan karena kelahiran di wilayah itu, dan orang tuanya bukan orang Lebanon. Naturalisasi di Lebanon sangat jarang.
Bagi anak-anak tanpa kewarganegaraan seperti Maha, jalan menuju kedewasaan penuh dengan masalah dan frustrasi. Layanan yang biasanya dianggap biasa, seperti pendidikan dan perawatan kesehatan, hanya dapat diakses dengan mengandalkan kemauan baik individu.
“Saya harus menerima pengecualian, untuk lulus dan dapat ijazah sekolah menengah saya,” kata Maha yang orangtuanya harus meminta direktur sekolahnya untuk mengizinkan dia dan kedua saudara kandungnya untuk menerima pendidikan.
Setelah lulus, hanya satu universitas, dari sekian banyak yang ia coba masuki, menerimanya. Itu pun bukan kedokteran, impiannya. “Menjadi seseorang tanpa tanpa negara lebih menyakitkan ketika Anda tahu dan menyadari mampu melakukan begitu banyak hal,” kata Maha, “Anda tidak dapat menyadari potensi jika Anda tidak diberi hak untuk hidup.”
Hidup di Brasil
Pada usia pertengahan 20-an, lelah menulis surat kepada berbagai menteri memohon kewarganegaraan, dan berpindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain karena takut tertangkap tanpa dokumen identitas diri yang tepat, Maha mulai berpikir bahwa solusinya ada di luar negeri.
Ia bertanya tentang pemukiman kembali, melalui Komisi Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR), atau mendapatkan izin untuk bepergian ke luar negeri. Tetapi, usahanya sia-sia.
Maha jadi hapal tanggapan bernada simpatik petugas pemrosesan visa dari Kanada, “Maha, kami ingin sekali Anda ada di Kanada, tetapi di mana kami akan mencap visa Anda?”
Baru setelah saudara perempuannya mengirim surat ke setiap kedutaan di Lebanon, mereka mendapat tanggapan positif dari Brasil. Pada 19 September 2014, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Maha memiliki sarana hukum untuk meninggalkan Lebanon.
Di Brasil, Maha dapat memperoleh visa enam bulan karena fakta bahwa ia adalah keturunan Suriah dan karenanya memiliki kemungkinan klaim pengungsi. Pada Mei 2016, dengan bantuan UNHCR di Brasil, Maha dan keluarganya memperoleh status pengungsi di Brasil, memberinya hak yang sama dengan warga Brasil tetapi tanpa memberinya kewarganegaraan.
Saat itu, untuk pertama kalinya Maha benar-benar dapat memegang kartu identitas yang memberikan hak-haknya. “Begitu memegangnya, saya menangis histeris, bertanya kepada saudara perempuan saya apakah ia yakin dokumen itu nyata ...,” katanya, “Sulit mempercayainya!”
Satu bulan kemudian, saudara laki-laki Maha, Eddy, terbunuh dalam perampokan dengan kekerasan di Brasil. “Saya ingat, pertanyaan pertama yang diajukan oleh saudara laki-laki saya ketika ia menerima statusnya sebagai pengungsi adalah apakah itu memungkinkannya kembali pulang ke Lebanon,” katanya.
Untuk menghormati keinginannya, Maha membawa jenazah saudara laki-lakinya kembali ke Lebanon untuk dimakamkan, tempat Eddy selalu menyebutnya negaranya, “Bagian yang paling menyedihkan adalah Eddy tidak pernah bisa tahu bagaimana rasanya mendapatkan hak secara hukum melakukan perjalanan ‘pulang ke rumah’.”
Jadi Panelis Reguler Lokakarya UNHCR
Kematian Eddy mendorong Maha menjadi juru bicara terkemuka untuk orang-orang tanpa kewarganegaraan di Brasil dan di seluruh dunia, bahkan mendorong tekadnya yang lebih besar untuk memperoleh kewarganegaraan dan untuk membantu orang lain bernasib sama melakukan hal yang sama.
Sebagai seorang panelis reguler di lokakarya UNHCR, Maha telah menjadi bagian dari upaya internasional untuk mengubah undang-undang dan praktik kebangsaan yang dipelopori kampanye #IBelong UNHCR. Pada 2017, tujuan kampanye diarahkan pada penyediaan hak kewarganegaraan yang setara bagi semua, termasuk menghapus diskriminasi gender dari undang-undang kebangsaan - sesuatu yang Maha sangat sukai.
“Saya ingin semua orang tahu tentang neraka yang saya jalani, dan saya tahu suatu hari presiden Brasil akan mendengar cerita saya dan memberi saya kewarganegaraan Brasil,” kata Maha.
Di Brasil, naturalisasi melalui tempat tinggal bisa memakan waktu hingga 15 tahun. Tetapi, Maha berharap mendapatkannya tidak selama itu. “Begitu saya mendapatkan kewarganegaraan, saya akan berteriak! Akan menangis! Saya akan memperbarui status saya di Facebook! Saya akan pergi ke Disney World! Ke Paris! Ke Italia! Ke seluruh dunia!”
Ia menambahkan dengan antusias, “Saya akan berteriak sekeras saya bisa: 'Saya akhirnya ADA!'”
Dan, ia akhirnya mendapatkan kewarganegaraan itu.
Editor : Sotyati
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...