Majegau, Flora Identitas Bali yang Kian Langka
SATUHARAPAN.COM – Bersama burung jalak bali, majegau merupakan kekayaan hayati khas Pulau Bali. Namun, berbeda dengan jalak bali yang sudah dikenal luas karena keelokannya, tidak banyak yang tahu pohon majegau. Bahkan tidak banyak yang tahu majegau adalah flora identitas Provinsi Bali.
Majegau, mengutip dari bobo.grid.id, adalah tumbuhan pohon yang mempunyai batang keras dan awet. Di Bali kayu majegau digunakan dalam upacara adat karena aromanya yang harum mewangi. Selain itu kayunya juga digunakan untuk bahan bangunan suci atau ukiran.
Majegau di Bali bukan menjadi sekadar pohon atau identitas. Majegau adalah pohon yang sangat disakralkan. N Nala, melalui studinya, “Filosofis Pemanfaatan dan Keanekaragaman Tanaman Upacara Agama Hindu di Bali”, dalam Prosiding Seminar Konservasi Tumbuhan Upacara Agama Hindu, Bali, 7 Oktober 2004 (Bali: UPT BKT KR Eka Karya Bali, Hal 9-28), menyebutkan batang majegau dipercaya sebagai simbolisasi Bhatara Sadasiwa, sehingga sering digunakan dalam upacara manusa yadnya, yaitu suatu upacara suci atau pengorbanan suci yang bertujuan untuk memelihara hidup dan membersihkan lahir batin manusia.
Kayu majegau juga sering digunakan sebagai kayu bakar upacara karena memiliki bau yang harum. Selain itu, majegau juga berpotensi sebagai obat, khususnya untuk mengobati penyakit sulit buang air.
Studi yang dilakukan IN Lugrayasa, “Inventarisasi dan Penggunaan Tumbuhan Obat oleh Masyarakat di Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem, Bali”, dalam Prosiding Seminar Konservasi Tumbuhan Usada Bali dan Peranannya dalam Mendukung Ekowisata, Bali, 6 September 2007 (Bali: UPT BKT KR Eka Karya Bali, Hal 99-107), menyoroti potensi obat pada majegau.
Mengutip sejarahharirayahindu.blogspot.com, selain batang kayunya juga disebutkan bunga dan daunnya sering digunakan untuk pembuatan canang. Kulit yang dikerikan sering digunakan sebagai pengganti kapur untuk membuat porosan. Kayunya dibakar sebagai bahan dupa atau pasepan saat upacara yadnya. Kayu majegau banyak digunakan sebagai bahan untuk membuat bangunan suci.
Deskripsi Majegau
Majegau adalah pohon dari famili Meliaceae, satu kerabat dengan pohon mahoni. Tumbuhan ini, mengutip dari Wikipedia, memiliki nama binomial Dysoxylum densiflorum. Nama spesifik densiflorum berasal dari bahasa Latin yang berarti “bunga yang rimbun”.
Pohon ini tumbuh hingga mencapai tinggi 45 meter dengan diameter batang hingga 65 sentimeter. Mengutip laman tumbuhanbali.blogspot.com yang dilansir 25 Agustus 2012, kulit pohon majegau berwarna kelabu-hijau. Kulit batang berlapis, kayu berwarna kekuning-kuningan.
Buahnya berwarna kelabu-hijau yang berbentuk buah pir hingga spindle, memiliki panjang hingga 4 cm.
Daun berselang-seling, panjang 35-46 cm, menyirip ganjil. Pelepah daun berambut pendek rapat kekuning-kuningan, anak daun berjumlah 7-15, berhadap-hadapan atau agak berhadap-hadapan. Tangkai daun 4-6 mm berambut pendek rapat, helai anak daun berbentuk lanset, tetapi anak daun pada bagian ujung lebih besar dan memanjang, berukuran 9-16 cm x 3-6 cm, seperti kertas, permukaan bawah berambut pendek pada bagian tulang daun, permukaan atas berambut pendek hanya pada tulang daun utama, 10-14 tulang daun sekunder pada kanan dan kiri tulang daun utama. Pangkal helai daun membulat. Ujung helai daun lancip.
Rangkai bunga terdapat pada cabang tua, kadang-kadang pada ketiak daun, tunggal atau mengelompok 2 sampai 3-10, panjang 5-9 cm. Poros rangkai berambut pendek rapat.
Bunga kekuningan, 8-10 mm, tangkai berambut pendek rapat. Kelopak bunga berbentuk mangkuk, 3-4 mm, berlekuk 4, lekuk segitiga, bagian luar berambut jarang, bagian dalam tidak berambut. Mahkota bunga 4 helai atau kelipatannya. Benang sari 2 mm, permukaan berambut pendek, sisi berlekuk 8, kepala sari 8, terletak agak di dalam tabung, ovarium di dalam mangkuk bunga, ditutupi trikoma rapat, beruang 4. Kepala putik 8 mm, ditutupi rambut halus jarang, berbentuk cakram dengan tangkai di tengah.
Buah berupa kapsul, berwarna hijau kekuningan, bulat sampai agak bulat telur, 4-6 x 2,5-4 cm. Kulit buah ditutupi rapat oleh trikoma dan tepung kuning. Biji merah cerah, dengan aril berwarna merah salmon.
Majegau berbunga Januari-Juli, dan buah masak pada Oktober-November. Majegau tumbuh di kawasan hutan hujan musiman, pada umumnya sampai pada ketinggian 500-800 meter di atas permukaan laut (m dpl), tetapi juga bisa sampai pada ketinggian 1.700 m dpl.
Majegau ditemukan di Myanmar, Tiongkok selatan, Thailand, Filipina, dan Semenanjung Malesia, yakni Malaysia, Singapura, dan Indonesia.
Di Kalimantan tumbuhan ini dinamakan humbi, jolurut, langsat-langsat, mengkuang, atau segera. Di daerah lainnya disebut apinango, maranginan, pingku (Sunda), cempaga, cepaga, kraminan (Jawa), majegau (Bali), ampeuluh, kheuruh (Madura), tumbawa rendai, tumbawa rintek (Minahasa).
Keberadaan di Alam
Dalam ilmu pengobatan tradisional Bali, seperti dikutip dari sejarahharirayahindu.blogspot.com, majegau disebutkan biasa dimanfaatkan sebagai bahan boreh untuk yang lahir dina wrhaspati, yang dalam sapta wara wariga disebutkan ramuan boreh tersebut juga dilengkapi dengan kulit pohon majegau yang dikerik.
Sumber bobo.grid.id menyebutkan, keberadaan majegau sudah sangat langka di dalam hutan karena pencurian dan pembalakan liar. Pohon ini sekarang dilindungi di Kawasan Hutan Lindung RTK 19 Dusun Munduk Anyar, Kelurahan Tegalcangkring, Kecamatan Mendoyo, Kabupaten Jembrana, Bali.
Laman tumbuhanbali.blogspot.com menyebutkan tumbuhan ini dahulu memang banyak terdapat di kawasan hutan di Pulau Bali. Tetapi, sekarang populasi pohon majegau di Bali mungkin sudah kalah dengan jumlah wisatawan yang berkunjung ke Bali dalam sehari. Karena itu, tidak mengherankan bila menemukan pohon ini bukanlah mudah, di kawasan hutan habitat aslinya sekalipun. Jangan menemukan tumbuhannya, menemukan informasi mengenai tumbuhan ini juga ternyata tidak semudah menemukan informasi mengenai berbagai tumbuhan lainnya. Meskipun ditetapkan sebagai tumbuhan identitas Provinsi Bali, situs web resmi Pemerintah Provinsi Bali juga tidak menyediakan informasi mengenai tumbuhan majegau ini.
Studi Dewi Lestari berjudul “Daya Hidup Biji Majegau (Dysoxylum caulostachyum Miq) dan Rijasa (Elaeocarpus glandiflorus JE Smith)” yang dilakukan di Kebun Raya Eka Karya Bali pada tahun 2008, dan dipublikasikan 13 Februari 2014, menyebutkan kemampuan berkecambah majegau memakan waktu dua minggu.
Rizka Ayu Mujiningtyas, Iis Nur Asyiah, Sulifah Aprilya Hariani, dalam studi berjudul “Jenis-Jenis Tumbuhan Langka yang Digunakan sebagai Bahan Upacara Adat Masyarakat Hindu di Desa Penyangga Taman Nasional Alas Purwo Banyuwangi (Endangered Plant as Hindu Society Traditional Ceremony at Alas Purwo National Park Banyuwangi ), menyebutkan perlu perhatian ekstra untuk perbanyakan demi kelestarian majegau, karena hingga saat ini budidaya hanya bisa dilakukan melalui biji dengan proses yang rumit.
Studi yang dilakukan peneliti Jurusan Pendidikan MIPA, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Jember itu, mengingatkan budidaya majegau dimulai dari proses memecah buah, lalu mengambil bijinya untuk ditanam. Hingga saat ini belum ditemukan teknik budidaya yang efektif dan efisien untuk tumbuhan majegau.
Editor : Sotyati
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...