Major Minor: Baju Wol Kini Nyaman Dipakai di Indonesia
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Desainer label pakaian ready to wear Major Minor menyatakan menjadi tantangan tersendiri bagi para desainer di Indonesia untuk menjadikan serat atau benang wol menjadi bahan baju yang familiar di Indonesia. Wol selama ini identik dengan bahan pakaian untuk negara berhawa dingin, sementara Indonesia adalah negara tropis.
“Selama ini wool fiber merupakan hal yang jarang ditangani oleh perusahaan tekstil di Indonesia. Namun, kini saya optimistis hal itu akan segera menjadi familiar di Indonesia. Selain itu, dapat menjadi bahan baju yang nyaman dipakai di negara tropis seperti Indonesia,” ujar desainer Major Minor, Sari Seputra, di Gedung Femina, Jakarta Selatan, hari Selasa (19/7) sore.
CEO Femina Group, sekaligus Ketua Umum Jakarta Fashion Week (JFW), Svida Alisjahbana, juga beranggapan sama. Menurutnya, diperlukan kesungguhan bagi para desainer dan industri tekstil di Indonesia untuk dapat menjadi bagian dari capital mode dunia.
“Jika fashion Indonesia ingin maju dan berkembang sebagai ‘pemain dunia’, maka harus terbuka dan konsisten. Salah satu yang sudah dikerjakan, yakni kerja sama antara Indonesia dan Australian Embassy, sehingga desainer di Indonesia dapat terhubung dengan perusahaan wol dunia, yakni The Woolmark Company,” ujar Svida.
Woolmark, dia menambahkan, memberikan contoh bagaimana bentuk kain hasil pabrik mereka tersebar di seluruh dunia. Woolmark juga memberikan knowledge mengenai serat wol sehingga nantinya dapat diolah di pabrik Indonesia.
“Serat wol ternyata berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia. Toton dan Major Minor sudah membuktikannya,” kata Svida.
Keduanya mengembangkan serat wol dari Australia bersama perajin tenun di daerah Garut, Jawa Barat.
Desainer Toton Januar mengatakan, serat wol ditenun dengan perjuangan keras dari para pengerajin. “Pada akhirnya bisa membuat kain yang bagus dan bisa mengantar saya memang di ajang International Woolmark Prize (IWP) kategori busana wanita untuk ronde Asia.”
Selain itu, dia menggarisbawah bahwa hal seperti itu merupakan pengalaman yang juga tidak bisa didapat apabila Indonesia tidak bekerja sama dengan pemerintah Inggris dan Australia.
Menanggapi hal tersebut, Minister Counsellor bagian ekonomi, investasi, dan infrastuktur dari Kedutaan Australia, Steven Barraclough, menyatakan akan terus mendukung usaha Indonesia untuk menjadi kiblat fashion dunia. “Kami Pemerintah Australia akan terus mendorong desainer Indonesia untuk dapat menjadi salah satu tonggak fashion dunia,” katanya.
Ajang perancang mode International Woolmark Prize (IWP) yang telah mengantar Toton menjadi juara pertama di tingkat Asia bagi ke dalam beberapa zona penjurian yakni Australia dan Selandia Baru; Asia Pacific (Indonesia, Jepang, Hong Kong, Korea Selatan, dan Tiongkok); India danTimur Tengah; Eropa; dan Amerika Utara, Amerika Serikat, dan Kanada.
“Di setiap zona memiliki juara pertama kategori womens wear, yang akan melaju dalam global final di Paris awal tahun depan,” ucap Liaison Proyek IWP-JFW, Hidayat Jati.
Toton dan Major Minor mengkolaborasikan Merino Wool dengan pembuatan secara tradisional dan modern. Mereka bekerja sama dengan perajin di Garut yang dianggap cukup siap dan konsisten dalam hal produksi kain tenun di Indonesia. Keduanya berharap perusahaan tekstil di Indonesia tidak hanya sebatas mengenal dan mengolah bahan katun dan silk, tapi mulai tertarik untuk mengembangkan kain wol agar nantinya dapat mendukung desainer Indonesia berkompetisi di tingkat internasional.
“Kita kolaborasikan cara pembuatan tradisional dan modern agar unsur-unsur tradisional tidak hilang dan bisa diproduksi dengan skala yang besar secara modern. Meski banyak kendala, dengan upaya keras perajin dari Garut para desainer bisa mendapatkan kain dengan kualitas yang bagus dan nyaman. Perajin tenun di Garut sangat terbuka dengan perkembangan yang ada, tapi tetap berpegang teguh juga pada tradisi, dan di situlah salah satu keunikannya,” ucap Toton.
Dalam konferensi pers, Major Minor dan Toton berbagi mengenai tema yang diusung dalam pakaian ready to wear yang diikutkan dalam ajang IWP di Hong Kong. “Temanya kita ambil dari pattern tenun khas daerah Lombok, yakni gambar burung dan motif bunga subanale sebagai simbol love,” ujar Sari.
Toton juga menceritakan tema yang berhasil mengantarnya menjadi pemenang dalam ajang itu. Bagi Toton, setiap koleksi selalu membawa motif dan ragam hias yang terinspirasi dari budaya-budaya Indonesia.
“Saya berasal dari Makassar dan di sana ada Gua Leang-Leang. Di dinding gua itu ada cap tangan manusia purba yang memiliki warna yang menginspirasi saya dalam pakaian yang buat kemarin. Selain itu saya juga terinspirasi dengan isu feminisme, saya ingin menuangkan style pakaian raja Bali dan Jawa dalam busana perempuan modern,” kata Toton.
Toton mengatakan akan konsisten membawakan tema Indonesian Heritage untuk enam look busana perempuan rancangannya dalam global final.
“Meskipun Indonesia bukan negara dengan empat musim, tapi kita pasti bisa membuat pakaian-pakaian dari wol. Kita bisa membuat mereka melihat wol dengan cara yang baru dengan mengusung budaya serta sejarah Indonesia di dalamnya. Kemenangan kemarin bukan hanya untuk kami, tapi juga untuk para perajin. Perajin ke depannya akan memiliki pasar yang lebih menjanjikan sehingga tidak perlu meninggalkan pekerjaan itu,” ujar Toton.
Pemenang dalam global final di antaranya akan memperoleh lisensi wol dunia dan mentoring wol dari The Woolmark Company.
Editor : Sotyati
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...