Makna Imlek dan Dinamikanya Bagi Tionghoa di Indonesia
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Imlek membawa suka cita bagi semua ketika warna warni merah menyemarakkan taman, ketika pertunjukan barongsai membawakan perasaan senang semua orang, hingga kembang api yang meronakan langit.
Maka Imlek menjadi simbol suka cita yang lain di Indonesia manakala ia hadir sebagai Tahun Baru atau Sin Cia yang tahun ini jatuh pada Sabtu, 25 Januari 2020 atau penanggalan Imlek, jatuh pada 1 Cia Gwee 2571 Kongzili.
Hari raya Imlek selalu dirayakan oleh masyarakat Tionghoa pada setiap tahunnya, yang ditandai dengan musim semi atau musim hujan, karena memang dalam catatan sejarah Imlek di peringati sebagai hari raya musim semi (Xin Chun).
Namun sejatinya lebih dari itu, Imlek tidak hanya melulu mempunyai makna angpau, kue China (kue keranjang) atau dodol dan juga yang tidak kalah menarik adalah lampion yang berwarna merah.
Unsur merah ternyata tidak pada lampion saja tapi juga busana yang dikenakan biasa dominan merah. Warna merah sebagai semarak imlek dari catatan tradisi, selain kebahagiaan juga dipandang sebagang lambang ketulusan, kebenaran dan keberuntungan (Hoki).
Tahun Baru Imlek merupakan sebuah rangkaian peribadahan kepada Tuhan, kepada alam dan kepada leluhur. Perayaannya sudah dimulai sejak sepekan sebelum Imlek yang dikenal dengan Dji Si Siang Ang/Er Si Sheng An atau Hari Persaudaraan.
Er Si menunjukkan tanggal 24 bulan 12, Sheng berarti naik/menaikan, dan An berarti aman/selamat. Er Si Sheng An berarti saat menaikan/memanjatkan rasa syukur Kehadiran Tian karena sudah selamat melewati waktu satu tahun.
Tanggal 24 bulan 12 Imlek juga dikenal dengan Hari Persaudaraan, saat dimana masyarakat Tionghoa secara umum berbagi kepada saudara-saudaranya yang kurang mampu. Semangat berbagi kepada saudara-saudara yang kurang mampu ini merupakan wujud rasa syukur kepada Tuhan atas berkah yang sudah diterimanya selama satu tahun.
Dilanjutkan dengan persembahyangan kepada leluhur (Chu Xi). yang dilaksankan satu hari menjelang Tahun Baru Imlek tanggal 29 atau 30 bulan Imlek dilaksanakan Chu berarti menggeser, Xi berarti penghujung/penghujung hari (sembahyang penutupan tahun).
Dilanjutkan dengan acara makan bersama (Nian Ye Fan). Acara makan bersama ini menjadi momen penting bagi keluarga Tionghoa (keluarga menjadi pilar penting dalam budaya masyarakat Tionghoa), karena merupakan saat reuni (Tang Yuan) bagi setiap keluarga Tionghoa.
Esok paginya, pada hari pertama Imlek, semua bersembahyang menyampaikan syukur kepada Tuhan seraya menyampaikan prasetya dan berkomitmen untuk berusaha lebih baik dalam menjalani tahun yang baru.
Dilanjutkan dengan memberikan hormat dan mengucapkan Selamat Tahun Baru kepada kedua orangtua dan saudara-saudara yang lain.
Banyak aturan bahkan pantangan pada masyarakat Tiong Hoa di Bogor, Tanggerang, maupun sebagian kecil Jakarta (Kota) masyarakat Tionghoa terlebih khususnya para penganut agama Khong Hu Cu pada saat tahun baru Imlek, di antaranya tidak boleh lagi bersih-bersih rumah hingga tiga hari kedepan.
Tikus Logam
Dalam penanggalan imlek, selain menjadi penanda akan jatuhnya hari raya, juga terdapat shio yang diberi lambang binatang sebanyak dua belas.
Dan tahun ini yang jatuh pada tanggal 1 Cia Gwee 2571 atau 25 Januari 2020 jatuh pada tahun Tikus (Ci). Tikus adalah simbol pertama dalam 12 shio atau horoskop versi Tiongkok.
Setiap awal Tahun Baru Imlek, simbol shio akan berganti dan berulang kembali setiap 12 tahun. Mereka yang lahir 2487 Kongzili/1936 Masehi, 2499/1948, 2511/1960, 2523/1972, 2535/1984, dan seterusnya bershio tikus.
Shio tikus melambangkan sifat cerdik-cendikia, kreatif/berpikir out of the box, selalu berusaha mencari solusi, berani dan cepat memutuskan, jujur dan murah hati. Namun bila tidak terkontrol baik, orang bershio tikus cenderung mudah terbawa suasana hati, ceroboh dan ambisius. Untungnya orang shio tikus senang dan giat belajar.
Kaitan dengan shio biasanya para ahli Fhengsui memberi gambaran akan adanya kebutuntungan dan keburukan, dan seterusnya. Walaupun dari tafsir itu banyak juga orang yang tidak percaya tapi tidak sedikit yang sangat meyakinkan akan hitungan itu.
Hari raya imlek pernah mengalami masa suram, utamanya pada zaman kepemimpinan Soeharto sebagai Presiden RI. Semua kegiatan yang berbau tradisi Tionghoa dan agama Khong Hu Cu dilarang habis-habisan.
Hingga pelayaan Imlek dan kegiatan perayaannya dilaksanakan secara sembunyi sembunyi. Maka kemudian dikesankan Tradisi Imlek dan implikasi ke Khong Hu Cuan sebagai organ terlarang yang tidak boleh berkembang di Indonesia.
Namun, di era Gus Dus sebagai Presiden, 20 Oktober 1999 - 23 Juli 2001, Tradisi Imlek dan Agama Khong Hu Cu mulai di hidupkan lagi dimana Gus Dur mencabut Inpres Nomor 14 tahun 1967 produk Presiden Soeharto berupa pembatasan Pelarangan Kegiatan Agama dan kepercayaan Khong Hu Cu dan dengan Perpres Nomor 6 tahun 2000 Agama Khong Hu Cu serta kepercayaan Tionghoa seperti mendapat angin segar sebagai bentuk adanya kebebasan Agama khususnya buat etnis Tionghoa yang masih setia kepada Agama Khong Hu Cu.
Setelah adanya Perpres Nomor 6 tahun 2000, dampaknya sangat terasa. Semua kegiatan Imlek dan kegiatan Agama Khong Hu Cu geliatnya luar biasa disambut oleh masyarakat Tiong Hoa, bukan hanya yang berlatar belakang Agama Khong Hu Cu, tetapi gebyarnya di sambut oleh agama-agama lain sepanjang suku Tionghoa ada dan hidup di sana.
Contoh yang paling nyata, di Gereja Katolik ST Matias Rasul, Kosambi Baru Jakarta Barat, kegiatan Perayaan Imlek juga diadakan untuk tiap tahunnya, bahkan bukan hanya Katolik tapi juga agama-agama lainnya sepanjang disana ada umat suku Tionghoa.
Dengan begitu, secara tidak langsung Imlek yang biasa dirayakan secara diam-diam dan dalam bentuk kelompok kecil yang eksklusif sejak tahun 2005 sudah tidak lagi. Karena sejak itu perayaan imlek milik semua masyarakat Indonesia suku/etnis Tionghoa.
Dampaknya luar biasa, bukan hanya Imlek yang membudaya, akan tetapi hal-hal lain utamanya dalam masalah perkawinan, yaitu Cio Tao (doa orang tua kepada kedua mempelai dihadapan Tuhan), disertai dengan menyisir rambut sang Calon Pengantin yang dimaknai sebagai orang yang sudah dewasa dan boleh berumah tangga.
Dan Cio Tao adalah bagian kecil tradisi yang mulai diterima dan dijalankan, namun masih banyak kegiatan lainnya yang mulai dilestarikan seperti Ceng Beng/Qing Ming (sembahyang kepada leluhur) atau dikenal dengan ziarah makam dan bersih bersih kubur.
Kegiatan perayaan ini bagi orang Tiong Hoa di Medan sangat besar animonya, dan itu berlaku juga di Bogor, Tanggerang, serta daerah lainnya.
Barangkali semangat melestarikan tradisi dan ajaran nenek moyang bagi suku Tionghoa, baik untuk Hari Raya Imlek dan kegiatan hari raya besar lainnya adalah menjadi tugas masyarakat Tionghoa pada umumnya. Karena dengan begitu khasanah budaya tidak lenyap dari bumi Indonesia, dan ini juga baik buat kekayaan budaya Indonesia yang sudah sangat dikenal oleh masyarakat Indonesia pada umumnya.
Maka sejatinya, Tahun Baru Imlek memiliki makna spiritual dari sebuah ajaran agama yang digenap sempurnakan oleh Confucius. Semoga perayaan Tahun Baru Imlek kali ini dan tahun-tahun selanjutnya selalu didasari oleh semangat persaudaraan agar tercipta keharmonisan, bukan hanya untuk kelompok, suku, atau etnis tertentu, tetapi bagi semua orang. Sebagaimana diajarkan Confucius bahwa sesungguhnya "Di empat penjuru lautan semua adalah Saudara."
Gong He Xin Xi Wan She Da Ji
Hormat/Selamat Bahagia Menyambut Tahun Baru, Semoga Semua Harapan baik Dapat Tercapai.
Sukses Selalu.
01-01-2571 Kongzili
25 Januari 2020 Masehi
*) C. Suhadi, S.H., M.H. Pemerhati Agama Khonghucu dan Budaya Tionghoa.
Tulisan ini dilansir dari Antara, Sabtu (25/1) dengan judul “Imlek Makna Dan Dinamikanya Bagi Tionghoa di Indonesia.”
Satu Kritis, Sembilan Meninggal, 1.403 Mengungsi Akibat Erup...
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Sebanyak 1.403 korban erupsi Gunung Lewotobi Laki-Laki di Flores Timur, N...