Manggatang Utus Budaya Huma Betang di Malioboro Yogyakarta
Jogja International Street Performance 2015
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Berbeda dari penyelenggaraan sebelumnya, Jogja International Street Performance (JISP) 2015 yang berlangsung pada tanggal 25-26 September 2015 digelar di luar ruangan (outdoor). JISP pertama kali diselenggarakan pada tahun 2010. Hingga tahun 2014 JISP dihelat di Taman Budaya Yogyakarta (TBY) dengan ruangan Concert Hall TBY sebagai panggung utama.
Pembukaan JISP 2015 pada Jumat (25/9) malam mementaskan tari dari berbagai daerah dan manca negara dilaksanakan di ruang terbuka Benteng Vredeburg Yogyakarta sebagai panggung (on stage), sementara pada street performance memanfaatkan ruang di beberapa titik di sepanjang Malioboro hingga Monumen Serangan Oemoem 1 Maret.
Pada pementasan on stage, tidak kurang penampil mancanegara dari Jepang, Korea, Malaysia, Sri Langka, serta Ukraina. Sementara dari dalam negeri tampil Didik Nini Thowok, Sanggar Tari Tingang Menteng Pahunjung Tarung (Kab. Kapuas, Kalimantan Tengah), Mahelat Lebo perform (Kalimantan Selatan) serta Padhepokan Seni Bagong Kussudiardja (Yogyakarta). Panggung tari virtual 3-D Hollo dance melengkapi panggung pementasan.
Dalam jumpa pers di Dinas Pariwisata DI Yogyakarta Senin (21/9) Bambang Paningron, penggagas JISP, menjelaskan perubahan konsep pementasan sebagai bentuk kritik atas terbatasnya ketersediaan ruang publik di Yogyakarta sebagai syarat utama sebuah kota festival. Dalam perjalanan waktu, di Yogyakarta banyak ruang publik berubah menjadi ruang fungsional semisal tempat parkir.
Tarian Manggatang Utus Budaya Huma Betang
Pada perform on stage Sanggar Tari Tingang Menteng Pahunjung Tarung menampilkan dua tari yaitu Manggatang Utus Budaya Huma Betang dan Tambak Bajai. Tari Manggatang Utus Budaya Huma Betang menggambarkan semangat muda-mudi Dayak Ngaju dalam mengangkat harkat-martabat (manggatang) seni-budaya dalam rumah panjang (huma betang) sebagai warisan leluhurnya agar tetap lestari dalam perjalanan waktu. Tarian diiringi dengan permainan perkusi (gendang, bonang), kecapi, rebab, bahkan dalam street perform ditambahkan dengan permainan biola, gitar, serta seruling. Biola dan gitar seolah menjadi penanda keselarasan perubahan kekinian dalam permainan tradisi Dayak Ngaju tanpa saling mematikan. Permainan mandau serta tameng sebagai perlambang menjaga apa yang mereka miliki (seni, budaya, adat) menjadi lebih dramatis ketika dipadu dengan semburan api yang tercipta dari serbuk damar yang terbakar sesaat setelah ditaburkan pada lampu minyak di atas nampan yang dibawa penari perempuan.
Erliansyah Narpan, pimpinan Sanggar Tari Tingang Menteng Pahunjung Tarung menjelaskan, untuk pementasan selama dua hari dia membawa 35 artis (penari, pemusik) serta 12 orang sebagai pendukung tim dari Kabupaten Kapuas. Selain untuk menambah pengalaman bagi anggota sanggarnya, keikutsertaan dalam JISP 2015 sekaligus sebagai promosi-komunikasi seni-budaya Dayak Ngaju di luar Kalteng.
Tarian yang sama dipentaskan juga dalam street perform pada Sabtu (26/8) di seberang Komplek Kepatihan - Kantor Gubernuran DI Yogyakarta, ditambah dengan tarian Maniti Gumilang, lagu Harati yang bertutur pada ajakan kepada generasi muda untuk membangun daerahnya secara bersama-sama, serta lagu Santarina yang berkisah tentang suka-duka penari yang mengabdikan segenap jiwa-raga untuk seni-budaya yang dicintainya. Di tempat yang sama Ranranga Dance (Sri Langka), Sanggar tari anak TeMBi Kabupaten Bantul, serta Mahelat Lebo perform (Kalimantan Selatan) secara bergantian mementaskan tari dengan memanfaatkan jalanan sebagai panggung pentas.
Dalam Huma Betang terkandung semangat kebersamaan dalam perbedaan (togetherness in diversity). Mereka yang hidup dalam rumah betang setidaknya memahami, menjunjung, dan menjaga nilai dan norma yang melingkupi keseharian huma betang yaitu kebersamaan, kejujuran, kesetaraan, dan sikap saling menghargai satu sama lain (toleransi). Nilai-norma yang terjaga cukup lama di dalam huma betang sebagai gambaran hidupnya dialog-komunikasi warga huma betang dalam aktivitasnya sehari-hari.
Membangun ruang publik adalah membangun dialektika antara masyarakat, para pihak, dan ruang itu sendiri. Entah sebuah kebetulan atau tidak, perform Manggatang Utus Budaya Huma Betang di ruas Jalan Malioboro selain mengingatkan dirinya sendiri seolah juga mengingatkan bahwa pada saat-saat ini Yogyakarta secara kuantitas memang kekurangan ruang publik yang telah banyak berubah fungsi karena banyak hal.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Peretas Korut Curi Kripto Senilai 58 Miliar Won
SEOUL, SATUHARAPAN.COM - Korea Selatan mengkonfirmasi bahwa peretas Korea Utara (Korut) berada di ba...