Mantan Menkeu Rusia: Krisis Rubel Semakin Parah
MOSKOW, SATUHARAPAN.COM – Krisis ekonomi Rusia memasuki babak baru ketika bank sentral negara itu memastikan untuk menalangi modal sebuah bank yang mengalami kesulitan.
Pada saat yang sama, mantan menteri keuangan negara itu memperingatkan krisis ekonomi Rusia akan semakin parah apabila harga minyak dunia terus merosot dan apabila hubungan ekonomi Rusia dengan negara-negara lain tidak segera dipulihkan terkait masalah Ukraina.
Irish Independent melaporkan Bank Sentral Rusia (BSR) telah menyetujui memberikan dana talangan kepada bank Trust senilai 30 miliar rubel atau 437 juta euro.
Kondisi perbankan Rusia semakin rentan setelah negara itu diterpa gelombang sanksi sebagai akibat dari ketegangan atas Ukraina, ketidakpastian geopolitik, dan penurunan harga minyak.
Sebagian pengamat, diantaranya Anna Stupnytska, ekonom pada Fidelity Solutions, menilai risiko gagal bayar surat utang negara Rusia sebenarnya kecil. Namun, yang sangat rapuh adalah keuangan sektor swasta, khususnya perbankan.
"Terkait dengan adanya sanksi, perusahaan-perusahaan di Rusia tidak mampu membiayai utang mereka karena akses keuangan ke pasar telah terputus," kata dia.
Sementara itu Alexei Kudrin, mantan menteri keuangan Rusia mengatakan Rusia saat ini dapat dikatakan telah atau sedang memasuki krisis ekonomi penuh. "Tahun depan kita akan merasakan dampaknya dalam kekuatan penuh," kata dia.
Para analis memberi peringatan bahwa keadaan ekonomi Rusia tidak akan meningkat dalam jangka panjang apabila tidak ada perbaikan dalam harga minyak dunia ataupun perbaikan dalam penanganan masalah Ukraina.
"Apa yang perlu dilakukan pemerintah Rusia saat ini, yang paling penting adalah menormalisasi hubungan Rusia dengan para mitra bisnisnya, terutama di Eropa, AS dan negara lain," kata Kudrin.
Kudrin menilai pemerintah telah membiarkan negara masuk ke dalam krisis ekonomi dengan membiarkan permasalahan ekonomi tidak tertangani dengan segera.
Jajak pendapat Reuters terhadap 11 ekonom mengungkapkan Produk Domestik Bruto (PDB) Rusia akan turun 3,6 persen tahun depan setelah hanya tumbuh 0,5 persen tahun ini.
Pemerintah Rusia telah berusaha meminimalkan dampak dari sanksi terhadap negara tersebut, kususnya atas nilai tukar rubel. Mata uang ini telah anjlok 80 persen pekan lalu kendati suku bunga telah dinaikkan 17 persen.
Presiden Vladimir Putin sejauh ini menyebut faktor eksternal yang menjadi pemicu krisis, khususnya anjloknya harga minyak dunia.
Namun, Kudrin mengatakan jatuhnya harga minyak bukan penyebab utama anjloknya rubel, melainkan sanksi ekonomi atas Rusia lah yang menjadi pemicunya. Ia mengingatkan surat utang Rusia berpotensi diturunkan statusnya menjadi surat utang 'sampah' pada tahun 2005.
Kudrin merupakan satu dari sedikit tokoh yang sering mengkritik Putin. Dia berhenti dari jabatannya pada 2011 sebagai protes atas proposal untuk menaikkan belanja pertahanan.
Laporan Ungkap Hari-hari Terakhir Bashar al Assad sebagai Pr...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Presiden terguling Suriah, Bashar al Assad, berada di Moskow untuk menghad...