Mantan Tentara Anak: Kami Dipaksa Membunuh
N'DJAMENA, CHAD, SATUHARAPAN.COM – Kekejaman perekrutan tentara anak dibeberkan pada Senin (30/6) oleh organisasi kemanusiaan PBB untuk mendukung anak-anak (UNICEF) melalui kesaksian salah satu korbannya. Berikut ini kisahnya.
Saat ia duduk bersandar di batang pohon, menatap tanah, Ibrahim (bukan nama sebenarnya, Red) mencoba mengingat ketika kelompok pemberontak di Chad utara merekrutnya tiga tahun lalu. Suaranya monoton, seolah-olah pengalaman itu terjadi pada orang lain, bukan dia.
Pada usia 15, ia diculik, dibius dan dipaksa untuk membunuh. “Saat itu, kelompok pemberontak tiba, mereka menemukan sekolah kami,” kata dia. “Para pemberontak mengintimidasi kami. Mereka memukuli kami dan menyuruh kami bergabung dengan mereka. Mereka mengatakan bahwa keluarga kami akan dilindungi.“
Dia dan teman sekolahnya dibawa ke markas pemberontak di pegunungan. Saat itulah masa kecilnya itu dicuri—ia tidak lagi seorang anak tapi alat perang.
“Selama tiga bulan kami [anggota baru muda] belajar cara menangani senjata dan memberi hormat kepada komandan pemberontak. Mereka juga mengajarkan cara membongkar dan memperbaiki mortir dan menembak secara akurat pada target,” kata Ibrahim.
“Kami harus sering menembak,” ingatnya. “Kami dipaksa membunuh tanpa rasa takut, memerkosa perempuan, untuk membuktikan bahwa kami sangat kuat.”
Dia mengatakan mereka diperintahkan untuk memotong payudara atau telinga orang-orang yang menolak perkosaan. Sebagian besar waktu, dan terutama selama insiden kekerasan itu berlangsung, ia dan teman-temannya berada di bawah pengaruh narkoba.
Mereka yang berusaha melarikan diri dibunuh atau disiksa—kadang-kadang di depan anak-anak lain, untuk mencegah mereka melakukan hal yang sama.
Putus Asa
Namun, Ibrahim berhasil melarikan diri dan kembali ke kampung keluarganya. Tapi, ketika ia sampai di sana, ia tidak menemukan apa yang ia harapkan.
“Suatu hari saya melarikan diri untuk melihat orangtua saya karena saya sudah bosan dengan hidup ini. Ketika orangtua saya melihat saya datang, mereka semua kabur,” kata dia. “Tidak ada yang menginginkan saya di kampung halamannya.”
Penolakan oleh keluarganya membuatnya kembali ke pemberontak. Dia menghabiskan dua tahun berjuang sebelum perjanjian perdamaian memberi amnesti bagi anggota gerakan pemberontak dan integrasi mereka ke dalam tentara nasional.
Sebuah proses verifikasi usia dilakukan oleh pemerintah, namun Ibrahim terpaksa berbohong untuk tinggal di tentara.
“Banyak teman sebaya saya dibebaskan,” katanya. “Tapi sehari sebelum verifikasi usia, komandan menyuruh saya untuk mengatakan saya berusia 18 tahun. Dia bilang saya lebih baik daripada yang lain dalam menangani senjata, dan ia tidak ingin kehilangan saya.”
Pada hari verifikasi usia, ia berusaha menyembunyikan diri, tapi komandan menemukannya. “Dia melihat saya dan memaksa untuk mengatakan usia saya 18,” kata Ibrahim. “Namun, saya masih berusia 17 tahun.”
Proses Panjang
Mengamankan pembebasan anak-anak bisa sulit, karena sering mereka tidak memiliki bukti resmi usia. Dan, pembebasan mereka hanyalah awal proses yang panjang. Pertama, mereka akan dikirim ke pusat transit, tempat mereka menerima evaluasi psikologis dan konseling. Kemudian mereka dilatih dalam keterampilan kejuruan sebelum bersatu kembali dengan keluarga mereka dan reintegrasi ke dalam masyarakat mereka.
Pada 2011, Pemerintah Chad menandatangani rencana aksi untuk mengakhiri perekrutan dan penggunaan anak-anak oleh angkatan bersenjata, tetapi di laporan Sekretaris Jenderal PBB pada 2013 Mengenai Anak dan Konflik Bersenjata, tentara nasional tetap terdaftar di antara pihak-pihak yang merekrut dan menggunakan anak-anak.
Yayasan untuk Negara Sejahtera
“Merekrut anak-anak secara moral tidak dapat diterima dan dilarang berdasarkan hukum internasional,” kata Bruno Maes, Perwakilan UNICEF Chad. “UNICEF akan terus mendukung komitmen pemerintah untuk mengakhiri pelanggaran ini dan untuk mencegah mereka terjadi di masa depan.”
Bekerja dengan mitra, UNICEF mendukung anak-anak dibebaskan dari kelompok bersenjata dengan paket layanan yang meliputi perawatan kesehatan, dukungan psikososial, penelusuran keluarga dan reunifikasi, dan kembali ke sekolah.
“Ketika kami membantu mantan tentara anak mengatasi pengalaman yang mengerikan dan anak tersebut reintegrasi kembali ke masyarakat, kami melakukan lebih dari memperbaiki masa kecil yang dicuri,” kata Maes. “Kami meletakkan dasar bagi sebuah negara yang sejahtera.”
“Saya bersedia pergi ke sekolah. Tapi komandan saya tidak pernah mengizinkan saya. Hari ini saya berusia 18 tahun dan saya menyadari saya kehilangan masa kecil, “kata Ibrahim. “Untuk kembali ke sekolah bisa memungkinkan saya untuk mengekspresikan diri dalam bahasa Prancis dan juga untuk membaca dan menulis.”
Catatan: Dalam laporan terbaru dari Sekretaris Jenderal mengenai Anak dan Konflik Bersenjata, Chad tidak lagi terdaftar di antara negara-negara di mana partai-partai merekrut atau menggunakan anak-anak dalam konflik bersenjata. (unicef.org)
Prabowo Sempat Bertemu Larry the Cat di Inggris
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Selain menemui Raja Charles III, Perdana Menteri Keir Starmer, dan pejaba...