Loading...
SAINS
Penulis: Sabar Subekti 15:49 WIB | Selasa, 03 September 2013

Mari Bicara Buang Air Besar dan Toilet di Forum Politik dan Diplomasi

STOCKHOLM, SATUHARAPAN.COM - Mari bicarakan toilet dan buang air besar (BAB) dalam forum diplomatik dan politik. Demikian kira-kira seruan Wakil Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB),  Jan Eliasson, dalam sebuah acara di Stockholm, Swedia, Senin (2/9).

Kita harus menyingkirkan "tabu" berbicara toilet dan BAB, karena ini menyangkut masalah serius yang dihadapi dunia.  Dia menyebutkan, sekitar 80 persen air limbah di dunia dibuang tanpa diolah dan mencemari laut, danau serta sungai. Akibatnya, sekitar 2,5 miliar manusia di seluruh dunia tidak mempunyai akses pada air bersih dan sanitasi yang sehat.

Jan Eliasson pada Pekan Air Sedunia (World Water Week) menyebutkan  bahwa mengelola air dengan efektif berarti mengatasi penyakit dan kemiskinan. Pertumbuhan penduduk dunia yang tinggi merupakan tekanan yang besar terhadap sumber daya air pada berbagai bangsa. Pengelolaan air yang sehat dan adil adalah tugas besar bagai seluruh umat manusia, kata Eliasson.

Air dan sanitasi termasuk dalam delapan target melawan  kemiskinan yang dikenal sebagai Millennium Development Goals (MDGs), di mana para pemimpin dunia sepakat untuk mencapainya dan bertemu pada akhir 2015.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat bahwa  tahun lalu dunia telah mencapai target untuk peningkatan sumber daya air, namun kualitas air untuk skala besar masih gagal memenuhi standar dasar WHO. Sekitar 80 persen dari air limbah  secara global yang berasal dari pemukiman manusia atau sumber industri dibuang tanpa pengolahan, dan mencemari sumber air seperti lautan, danau dan sungai.

Paling Tertinggal

Pasokan air yang tidak memadai dan sanitasi buruk di seluruh dunia menyebabkan kerugian ekonomi sebesar US$ 260 miliar, menurut data WHO. Hal ini sedikitnya bernilai Rp 2.600 triliun. Dan juga belum terhitung kerugian akibat biaya kesehatan dan hilangnya produktivitas kerja.

Sementara itu untuk memenuhi target MDGs di atas, investasi untuk air bersih dan sanitasi hanya sebesar US$ 60 miliar (setara Rp 600 triliun) per tahun, kata Eliasson.

Sanitasi adalah yang paling tertinggal dari MDGs. Untuk memenuhi target ini  maka harus dicapai pengurangan jumlah penduduk yang tidak mendapatkan akses air bersih dan fasilitas sanitasi. Hal ini berarti di seluruh dunia harus mengentaskan 1,25 miliar jiwa agar mendapatkan akses pada air besih dan fasilitas sanitasi.

Oleh karena itu, dia mendesak seluruh lembaga pemerintah dan non pemerintah membangun kemitraan untuk fasilitas sanitasi dan akses air bersih bagi semua.

Melanggar Tabu

"Kita harus melanggar tabu,” kata Eliasson. Maksud dia, selama ini membahas toilet dan BAB sebagai hal tabu dalam wacana diplomatik dan politik. Tetapi sekarang saatnya untuk bicara tentang buang air besar dan toilet secara terbuka, termasuk dalam diplomasi dan politik.

Dia menegaskan, saat ini satu dari empat orang di negara berkembang buang air di tempat terbuka. Jika kebiasaan ini bisa dihilangkan, maka 36 persen kasus diare akan hilang. Bukan hanya itu, tingkat kesehatan anak dan perempuan yang berisiko penyakit seksual juga akan membaik.

Sekarang adalah saatnya menyerukan aksi untuk buang air besar dengan baik. Hal ini disampaikan pada Maret lalu oleh Sekjen PBB, Ban Ki-moon. Tujuannya untuk meningkatkan kebersihan, mengubah norma-norma sosial soal BAB, mengolah limbah manusia, dan menghentikan praktik BAB di tempat terbuka pada 2025. Majelis Umum PBB menyambut hal ini dan menetapkan 19 November sebagai Hari Toilet Dunia.

Air dan Konflik

Eliasson mencontohkan gerakan SWA sebagai contoh. Sanitation and Water for All (SWA) atau Sanitasi dan Air untuk Semua adalah aksi kemitraan dari pemerintah, donor, organisasi sipil dan badan PBB. Soal air disebutnya berarti soal kesehatan, kemiskinan dan juga keadilan.

Eliasson yang menyebutkan tentang pengalaman di Darfur, Sudan, dan memperingatkan bahwa kelangkaan air adalah alasan meningkatnya konflik bersenjata di sana.

"Saya telah melihatnya di Darfur di mana air sumur diracun sebagai cara untuk memaksa orang meninggalkan desa mereka, karena kamp pengungsian sudah penuh sesak," kata dia. Ditambahkan bahwa ketegangan hubungan antar negara juga terkait dengan batas perairan, seperti sungai dan danau, serta saluran air. Hal ini akan terkait dengan menejemen air, pertanian dan energi.

"Jika kompetisi untuk sumber daya air berubah menjadi konflik terbuka, semua sisi, dan semua pihak yang terlibat akan menderita," kata Eliasson. "Jadi, tujuan kami adalah untuk membuat sumber daya yang langka, khususnya  air, sebagai alasan dan dasar untuk kerja sama daripada sumber konflik." (un.org)

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home