Markus Haluk: Demokrasi dan HAM Tak Berlaku di Papua
JAYAPURA, SATUHARAPAN.COM - Kelompok Kerja Universal Periodic Review (UPR) Dewan HAM PBB telah merampungkan pembahasan laporan HAM Indonesia pada Rabu, 3 Mei 2017 di Jenewa dalam sesi 27 sidang dewan tersebut.
Menteri Luar Negeri RI, Retno L.P. Marsudi, yang memimpin Delegasi RI bersama dengan Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H. Laoly, menegaskan setelah melakukan dialog selama 3,5 jam dengan delegasi dari 103 negara, tertangkap pesan kuat bahwa para delegasi mengapresiasi berbagai kemajuan serta upaya dan komitmen Indonesia dalam mengatasi tantangan di bidang pemajuan dan perlindungan HAM, baik di tingkat nasional dan daerah serta kepeloporan Indonesia di tingkat kawasan dan global.
Menurut dia, sebagaimana disiarkan oleh laman resmi Kementerian Luar Negeri, hal ini menunjukkan dukungan dan memberikan semangat baru bagi Indonesia, terutama di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo, untuk terus mencatat kemajuan maupun mendorong berbagai prakarsa inovatif dalam upaya pemajuan dan perlindungan HAM di tanah air.
Pandangan berkebalikan datang dari Intelektual Muda dan Aktivis HAM asal Papua, Markus Haluk. Ia mengungkapkan kekecewaannya karena ia menilai Indonesia tidak jujur dalam mengungkapkan berbagai pelanggaran HAM di Papua di sidang Dewan HAM PBB.
Kendati demikian, Markus yang merupakan salah seorang tokoh muda Papua yang kritis dan gencar menyerukan penentuan nasib sendiri bagi Papua, mengatakan sikap pemerintah tidak mengejutkan.
"Bagi bangsa Papua sudah biasa dengan penyangkalan seperti itu. Sebab dimana-mana pelaku kejahatan pada suatu bangsa tertentu tidak pernah akan mengakui perbuatannya," kata dia dalam komentarnya kepada satuharapan.com.
Dalam bahasa yang menyindir, Markus Haluk mengatakan demokrasi dan HAM hanya berlaku dari Sabang sampai Amboina dan tidak untuk bangsa Papua.
"Adalah fakta bahwa hingga saat ini khusus di rezim Jokowi-JK di Papua masih terjadi kejahatan kemanusiaan dan pelanggaran HAM," tutur dia.
Selain itu, pembungkaman ruang demokrasi, pembatasan media asing, diplomat, akademisi internasional mengunjungi Papua juga masih berlangsung.
"Dalam kepemimpinan Jokowi JK lebih dari 6.000 orang Papua ditangkap dan ditahan dan tidak ada yang diproses hukum. Ratusan warga sipil ditembak dan banyak yang meninggal dunia," kata penulis buku Mati atau Hidup, Hilangnya Harapan Hidup dan HAM di Papua (2013) ini.
Lebih jauh, ia mengatakan bahwa pembangunan di Papua bias pendatang dan orang Papua terus termajinalkan. Oleh karena itu, ia menganggap apa yang disampaikan oleh delegasi RI dalam UPR di Jenewa tidak mencerminkan apa yang terjadi.
Itu sebabnya, ia mengatakan, jika pemerintah tak jujur, suara yang menginginkan penentuan nasib sendiri di Papua akan semakin kuat.
Editor : Eben E. Siadari
Otoritas Suriah Tunjuk Seorang Komandan HTS sebagai Menteri ...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Penguasa baru Suriah telah menunjuk Murhaf Abu Qasra, seorang tokoh terkem...