Markus Haluk: Papua, Mati atau Hidup?
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Situasi Papua selama sepuluh terakhir ini masih berada dalam lorong yang kelam karena masih terdapat berbagai pelanggaran HAM. Hal ini tentu menimbulkan gejolak dan pertanyaan besar bagi warga Papua, apakah seratus tahun mendatang Papua masih dapat hidup mempertahankan eksistensinya, atau akan mati karena situasi yang tak berubah.
Markus Haluk, jurnalis sekaligus aktivis HAM di Papua dalam Seminar “Refleksi Sepuluh Tahun Kepemimpinan SBY Bagi Tanah Papua” yang digelar oleh Pusat Studi Papua Universitas Kristen Indonesia, Jakarta Timur pada Kamis (16/10) mengatakan bahwa pelanggaran HAM di Papua selama sepuluh terakhir ini ditandai oleh kekerasan dan penembakan yg dilakukan aparat keamanan, ancaman pembungkaman suara dan aksi damai, dan berbagai ancaman lain yang berpotensi merenggut harapan hidup warga Papua.
Markus menyuarakan gejolak HAM ini dalam bukunya Mati atau Hidup. Ia menjelaskan bahwa buku tersebut berisi berbagai peristiwa dan persoalan pelanggaran HAM yang bersumber dari lapangan. Fakta telah dikumpulkan dari hasil advokasi di tempat kejadian atau lapangan.
Untuk itu, Markus menyimpulkan bahwa pemerintah Indonesia dinilai cukup gagal menjamin hak dasar manusia yang telah disepakati bersama oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Markus menilai pemerintah telah membiarkan dan menutup mata peristowa-peristiwa yang masuk dalam pelanggaran HAM di Papua.
"Strategi pembangunan politik yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia tidak memberikan kontribusi berarti bagi jaminan hidup rakyat Papua," ujarnya.
Titik kelam situasi HAM di Papua ini menurut Markus setidaknya akan memberi pelajaran bagi militer dan pemerintah bahwa kebijakan dan tindakan keamanan tidak dapat menghentikan aspirasi politik yang bergema di tanah fajar tersebut.
Editor : Bayu Probo
KPK Geledah Kantor OJK Terkait Kasus CSR BI
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah kantor Otoritas J...