Martin Sinaga: Orang Pinggiran sebagai Lokasi Teologi Pembebasan
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - "Teologi Pembebasan harus menemukan lokasi agar dapat terus relevan di masa depan, dan lokasi Teologi Pembebasan adalah kelompok-kelompok pinggiran yang termarjinalisasi," demikian disimpulkan oleh Pendeta Martin Lukito Sinaga yang menjadi moderator pada sesi relevansi Teologi Pembebasan, (26/2) dalam Simposium Teologi Pembebasan Asia yang diselenggarakan di STT Jakarta.
Teologi Pembebasan yang mulai digulirkan tahun 1968 pada konferensi para uskup di Amerika Latin, lebih dari 40 tahun yang lalu. Di Indonesia Teologi Pembebasan diperkenalkan pada tahun 1980-an, yang awalnya menerima banyak prasangka, karena dianggap sebagai bagian dari gerakan kiri, yang hendak menumbangkan pemerintahan Suharto, serta secara global dianggap bagian dari sosialisme.
Namun, sejak runtuhnya tembok berlin, ketika kelompok gerakan kiri dianggap kalah, maka ada anggapan Teologi Pembebasan akan hilang, ternyata salah. Martin Sinaga menjelaskan, "Teologia Pembebasan bukan soal gerakan kiri, bukan soal komunisme, tetapi Teologi Pembebasan adalah percakapan iman yang memihak kepada masyarakat yang menanggung ketidakadilan. Justru setelah blok timur hancur dan berkembang pasar bebas neoliberalisme, ketidakadilan semakin jelas, sehingga teologi menemukan lokasinya dan semakin relevan."
Ruang dan Lokasi Teologi Pembebasan
Wati Longchar, teolog dari India yang menjadi narasumber pada sesi ini menekankan lokasi Teologi Pembebasan adalah masyarakat adat (indigienous people) dan orang-orang dari penganut agama asli. Menurut Wati, para penganut agama asli ini mirip dengan cerita Lazarus dan orang kaya dalam Alkitab yang mengisahkan Lazarus yang makan dari remah-remah dan ditemani anjing. Ini sebenarnya, menunjukkan pada kelompok orang pinggiran yang termarjinalisasi dan dibebani oleh ketidakadilan.
Menurut Martin Sinaga, "Sekarang, dari orang pinggiran inilah, kita dapat belajar banyak untuk memperkaya Teologi Pembebasan. Dari orang-orang ini, kita melihat hubungan 'rohani', atas kedekatan dengan alam dan lingkunganya dan kita dapat belajar untuk menghadapi kelompok penghancur lingkungan." Dengan kata lain, Martin Sinaga menjelaskan, agama-agama asli menolong untuk dapat menoleh pada tanah dan lingkungan, dan menjadikannya sebagai ruang dan lokasi berteologi. "Sebuah ruang yang terbuka, ruang yang memberi hidup, menumbuhkan pohon-pohon, dan disitulah Teologi Pembebasan bekerja," jelas Sinaga.
Dalam pembahasan bersama para peserta simposium, kemudaian ditemukan problem yang dihadapi masyarakat adat, yakni kurang melihat isu ekonomi struktural sebagai pergumulan, masyarakat adat dan agama asli seringkali hanya hubungan dengan alam dan lingkungan sebagai hubungan spiritual dan cara bertahan hidup. "Dimensi struktur ekonomi itulah salah satu ruang yang memberi kesempatan masyarakat adat diperkaya oleh teologi pembebasan," demikian kata Martin Sinaga.
Lebih lanjut, Martin Sinaga menjelaskan, "pada konteks berteologi di Indonesia, masalah ruang dan lokal seringkali hanya dipandang sebagai masalah penerjemahan Injil, belum melihat bahasa dan budaya lokal yang dapat memperkaya dan membebaskan. Semestinya sekaligus memandang ruang dan lokasi yang berlanjut pada struktur ekonomi yang kritis."
Hal ini dicontohkan oleh Martin Sinaga, misalnya gereja di Jawa yang memakai gamelan, gereja yang merayakan imlek. Dalam cerita Dewi Sri sebagai teman kontekstual, masalah bukan lagi pada umbul-umbul di gereja, tetapi lebih kepada hak atas pertanian, masalah beras, dan dalam konteks ketahanan pangan. Pada budaya di masyarakat Batak, tidak hanya memikirkan adat dalam menghormati nenek moyang, tetapi bagaimana melihat alam ditengah krisis penghancuran lingkungan.
Editor : Bayu Probo
Laporan Ungkap Hari-hari Terakhir Bashar al Assad sebagai Pr...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Presiden terguling Suriah, Bashar al Assad, berada di Moskow untuk menghad...