Masuk Prolegnas 2015, RUU Pertembakauan Kembali Kisruh
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pertembakauan kembali menghadirkan polemik di sejumlah kalangan masyarakat. Sebelumnya, RUU ini pernah menuai pertentangan saat diprioritaskan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2014 silam. Kini, hal tersebut kembali terulang setelah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjadikan RUU tersebut sebagai salah satu prioritas dalam Prolegnas 2015.
Bahkan, Badan Eksekutif Mahasiswa Ikatan Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (BEM IM FKM UI) 2015 yang hadir dalam Rapat Paripurna ke-18 DPR, Senin (9/2), sempat menghentikan jalannya rapat dengan berteriak menolak dimasukannya RUU tersebut ke dalam Prolegnas 2015.
Menurut mereka, setidaknya ada empat poin yang menjadi dilema dalam pengadaan RUU tentang Pertembakauan dengan realitas yang terjadi. Pertama, luas lahan tembakau tidak signifikan. Artinya, luas lahan tembakau di Indonesia hanya terkonsentrasi di tiga provinsi, yitu Jawa Timur (108 ribu hektar atau 55 persen dari total lahan tembakau, Jawa tengah (44 ribu hektar atau 22 persen), dan Nusa Tenggara Barat (24 ribu atau 12 persen). Dengan kata lain, 90 persen lahan tembakau hanya berada di provinsi ini.
Selanjutnya, nasib petani tembakau tetap miskin. Kondisi petani tembakau tidak sebaik yang dipersepsikan selama ini. Petani tembakau belum menikmati tingkat kesejahteraan yang setara dengan melonjaknya produksi rokok dan keuntungan industri. Sedangkan upah rata-rata buruh tani tembakau per bulan hanya Rp 413.000 atau setara dengan 47 persen upah rata-rata nasional.
Ketiga, buruh pabrik rokok tetap marjinal. Salah satu faktor terpenting yang mempengaruhi penurunan lapangan kerja pada industri pengelolaan tembakau adalah mekanisasi produksi rokok di Indonesia sebagai conoh telah mengurangi biaya pekerja secara substansial.
Terakhir, BEM IM FKM UI 2015 berpendapat biaya ekonomi dampak semakin besar. Maksudnya, biaya ekonomi dan sosial yang akan ditimbulkan akibat konsumsi terus meningkat dari beban peningkatan ini sebagian besar ditanggung oleh masyarakat yang berpenghasilan rendah. Di Indonesia, jumlah biaya konsumsi tembakau tahun 2005 yang meliputi biaya langsung di tingkat rumah tangga dan biaya idak langusng karena hilangnya produktifitas akbat kematian dini, sakit, dan kecacatan adalah 18,5 miliar dolar Amerika Serkat (Rp 167,1 triliun). Jumlah tersebut lima kali lipat lebih besar dibandiing pemasukan cukai sebesar Rp 32,6 triliun pada tahun 2005.
Usul Komisi VI
Saat ditemui usai Rapat Paripurna ke-18 DPR, Senin (9/2), Ketua Komisi IX Dede Yusuf Macan Effendi mengaku usulan memasukan RUU tentang Pertembakauan bukan berasal dari pihaknya. Menurut dia, Komisi IX DPR mengusulkan RUU tentang Pengendalian Tembakau.
"Komisi IX tidak ada mengusulkan RUU tentang Pertembakauan, silakan dicek di data Prolegnas 2015, masuknya dari komisi atau fraksi mana," kata Dede Yusuf saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (9/2).
"Kalau dari Komisi IX, adanya RUU tentang Pengendalian Tembakau, ini sesuatu yang berbeda, kalau pertembakauan sifartnya lebih kepada perlindungan industri tembakau, sedangkan yang diusulkan Komisi IX mengatur bahaya tembakau, agar diatur soal kesehatannya," mantan Wakil Gubernur Jawa Barat itu menambahkan.
Dede Yusuf mengakui RUU tentang Pertembakauan memang mengkhawatirkan, sebab terdapat pasal-pasal yang seakan mengabaikan masalah kesehatan. Dia pun kembali menegaskan RUU tersebut bukan usulan Komisi IX DPR. “Kalo saya tidak salah itu usulan Komisi VI DPR dan Komite II DPD,” kata dia.
“Sebab kalau usulan Komisi IX DPR akan berkaitan dengan bahanyanya tembakau pada kesehatan, lagian, kita tidak mungkin usulkan RUU ini, karena sudah ada RUU tentang Pengendalian Tembakau,” Dede menjelaskan.
Permainan DPR
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mencium adanya permainan DPR dengan industri rokok dalam memasukkan RUU tentang Pertembakauan sebagai RUU Prioritas Prolegnas 2015. Sebab, mereka menilai RUU dinilai sangat kental kepentingan industri rokok yang hanya mementikan keuntungan dibandingkan kesehatan masyarakat.
Menurut Anggota Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi masuknya RUU Pertembakauan adalah hal yang sangat mengkhawatirkan, khususnya bagi anak-anak, remaja dan generasi muda. Sebab, RUU Pertembakauan adalah RUU yang diusung oleh industri rokok, dengan tujuan utama meningkatkan produksi, terutama oleh industri rokok besar yang saat ini jumlah produksinya mencapai Rp 365 miliar per tahun.
"Ini adalah RUU yang sangat berbabahaya bagi masyarakat Indonesia, dan penuh muslihat jahat oleh industri rokok besar. Jika DPR tetap memasukkan RUU Pertembakauan pada Prolegnas 2015, patut diduga dengan kuat para anggota DPR bermain mata dengan industri rokok. Jelas ini persekongkolan yang sangat jahat," kata Tulus Abadi.
Sosok yang merupakan Anggota Komisi Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT) itu pun mengungkapkan RUU Pertembakauan dibuat oleh industri rokok untuk menganulir beberapa pasal tentang pengendalian rokok atau tembakau di UU Kesehatan, Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Daerah (Perda), dan regulasi lainnya.
"Jika RUU Pertembakauan disahkan, maka tidak akan ada lagi regulasi pengendalian konsumsi rokok. Kecuali regulasi yang dibuat oleh industri rokok yang dimasukkan pada RUU Pertembakauan yang seolah-olah pro kesehatan," ujar dia.
Tulus pun mengaku bingung dengan tujuan DPR mengusulkan RUU tersebut. Dalam pandangannya, tembakau tidak memiliki kehebatan atau alasan tepat harus diatur dalam sebuah UU dan penting untuk masyarakat. terlebih, sudah ada UU sejenis yang mengatur tentang pertanian dan perkebunan.
"RUU Pertembakauan adalah RUU gado-gado yang ingin mengatur sektor pertanian, industri dan kesehatan. Sungguh aneh, bicara dampak kesehatan pada tembakau kok malah diusulkan oleh industri rokok. Itu namanya maling teriak maling," kata dia.
Jika memang RUU Pertembakauan ingin melindungi petani tembakau, Tulus menambahkan seharusnya DPR bersama pemerintah menghentikan impor tembakau. Dimana, saat ini mayoritas produksi rokok nasional justru dikuasai pasar asing, yakni Tiongkok.
"Inilah yang sesungguhnya mengkerdilkan petani tembakau. Jika RUU Pertembakauan ingin melindungi buruh pabrik rokok, hentikan mekanisasi buruh rokok oleh industri rokok besar yang menggunakan mesin, karena itu menyebabkan terjadinya PHK besar-besaran di sejumlah pabrik rokok besar,” ujar dia.
Tulus menjelaskan, saat ini Indonesia menjadi negara yang paling lemah di dunia terkait regulasi pengendalian tembakau. Karena saat ini 180 negara di dunia telah meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), sementara Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia yang belum meratifikasi FCTC.
“Di dunia ini hanya sembilan negara yang belum meratifikasi FCTC, salah satunya Indonesia,” kata dia.
Dia kembali menegaskan, DPR harus segera membatalkan RUU tentang Pertembakauan demi menyelamatkan anak-anak, remaja dan, generasi muda, dari bahaya dan dampak buruk rokok atau tembakau.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Awas Uang Palsu, Begini Cek Keasliannya
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Peredaran uang palsu masih marak menjadi masalah yang cukup meresahkan da...