Masyarakat Adat di Brasil Marah, karena Risiko Tertular COVID-19
SATUHARAPAN.COM-Para pemimpin masyarakat adat Yanomami yang terisolasi di Brasil mengeluh bahwa misi militer untuk melindungi mereka dari virus corona membawa risiko infeksi yang lebih besar kepada orang-orang mereka melalui kontak dengan orang luar, termasuk wartawan.
Jaksa federal Brasil mengatakan mereka sedang menyelidiki kunjungan tersebut, karena mengabaikan keinginan komunitas Yanomami untuk tetap terisolasi dari masyarakat, melanggar aturan jarak sosial dan mendistribusikan obat chloroquine kepada penduduk asli.
Pada hari Selasa dan Rabu (30/6, 1/7) tentara membawa perbekalan medis dengan helikopter ke pos-pos di perbatasan dengan Venezuela dan mengumpulkan keluarga Yanomami untuk diuji virus corona baru, upaya penjangkauan yang direkam oleh sejumlah wartawan.
"Kami tidak ingin dijadikan propaganda pemerintah," kata Parana Yanomami. "Kami tidak ingin orang luar datang ke sini untuk mengambil foto anak-anak kami. Kunjungan itu mengejutkan kami."
Yanomami adalah suku besar terakhir yang hidup dalam isolasi relatif dengan reservasi besar seukuran negara bagian Indiana di Amerika Serikat. Wilayah ini diserbu selama beberapa dekade oleh penambang emas yang telah membawa penyakit fatal bagi rakyat mereka.
Roberto Yanomami, kepala komunitas di Surucucu, mengatakan pemerintah mengatur perjalanan itu tanpa berkonsultasi dengan para pemimpin suku. "Kami khawatir orang asing datang ke sini dan meninggalkan COVID-19. Orang-orang Yanomami dipanggil ke dalam garnisun tanpa penjelasan," katanya dalam sebuah pesan video, wajahnya dicat hitam dengan pewarna dari buah pohon genipapo.
Menjelang misi pada hari Rabu, Menteri Pertahanan Fernando Azevedo mengatakan kepada wartawan bahwa pandemi itu terkendali di antara warga Yanomami, karena petugas medis tidak mendeteksi adanya kasus.
Namun komentarnya ditolak oleh dewan kesehatan Yanomami yang mengatakan ada lebih dari 160 kasus yang dikonfirmasi dan lima kematian di antara warga suku itu sekitar 27.000 orang.
Dalam sebuah pernyataan kepada Reuters, Kementerian Pertahanan Brasil mengatakan semua anggota misi telah diuji COVID-19 sebelumnya dan bahwa chloroquine telah digunakan selama lebih dari 70 tahun untuk malaria, lazim di wilayah Amazon.
Dewan meminta jaksa penuntut umum untuk menyelidiki kunjungan dan pengiriman chloroquine, obat anti-malaria yang kontroversial digunakan dalam merawat pasien COVID-19.
Kantor kejaksaan mengatakan militer tidak melindungi Yanomami dari risiko penularan utama mereka, diperkirakan lebih dari 20.000 penambang emas secara ilegal berada di tanah mereka. (Reuters)
Editor : Sabar Subekti
Jerman Berduka, Lima Tewas dan 200 Terluka dalam Serangan di...
MAGDEBURG-JERMAN, SATUHARAPAN.COM-Warga Jerman pada hari Sabtu (21/12) berduka atas para korban sera...