Matakin Minta Revisi UU Terorisme Dapat Lindungi Rumah Ibadah
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Ketua Umum Majelis Tinggi Konghu Cu Indonesia (Matakin) Uung Sendana Linggaraja, meminta agar revisi Undang-Undang nomor 15 tahun 2003 tentang pemberantasan terorisme yang sedang dibahas DPR dan Pemerintah mencakup perlindungan tempat ibadah.
“Selain hak asasi bagi para korban dan para pelaku terduga teroris, juga perlu diperhatikannya hak asasi publik untuk beribadah. Saat ini tempat ibadah kerap kali menjadi bulan-bulanan para teroris yang mendalami ajarannya,” kata Uung Sendana saat rapat kerja Pansus Pemberantasan Terorisme, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, hari Rabu (1/6).
Menurut Uung Sendana dalam ajaran agamanya subtansi kepercayaan ialah yang paling utama. Oleh karenanya ia meminta rumah ibadah juga harus dijaga mengingat perlunya perhatian dari sudut spriritual.
“Jadi perlu ditambahkan dalam pasal 1 ayat 12 tentang perlindungan rumah ibadah,” kata dia.
Selain itu, Uung mengatakan perlunya pembinaan pada para pelaku teroris untuk kembali ke ajaran agama yang benar.
“Dalam membuat perundang-undangan harus mencakup dasar sikap bijaksana dan cinta kasih. Sebab bila dibiarkan maka rawan timbul aksi balas dendam,” kata dia.
Selain itu, Matakin setuju bahwa perlunya hukuman tegas bagi para pelaku aksi teroris seperti hukuman mati. Dengan catatan, perlu dilalui dengan pengadilan dan disertai bukti dan syarat yang kuat.
Sementara itu, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) sendiri menyambut baik inisiatif DPR bersama pemerintah terhadap revisi UU terorisme itu.
PGI menilai terorisme seringkali didasari ideologi tertentu. Untuk itu perlunya melihat pengertian ideologi guna mencari akar permasalahan.
“Kekerasan apapun tidak diperbolehkan di negeri ini,” kata Hendri Lokra selaku Sekretaris Eksekutif bidang Keadilan dan Perdamaian.
Kemudian, dari pihak Perwakilan Umat Buddha Se-Indonesia (Walubi) juga memiliki satu pemahaman. Pihaknya melihat secara jernih bahwa aksi terorisme tidak ada kaitannya dengan ajaran agama.
“Aksi teroris terjadi lantaran adanya waktu dan celah. Oleh sebab itu yang perlu menjadi landasan dalam revisi Undang-Undang ini bahwa perlunya pencegahan dari sisi agama,” kata dia.
“Karena sering teroris dikaitkan dengan agama. Bisa dikaitkan agama apa saja. Saya percaya hakikatnya agama enggak pernah ajarkan itu,” kata Ketua Umum Walubi, Arie Harsono.
Meski kerap kali para pelaku teroris digambarkan sebagai umat Muslim namun menurutnya para penggerak aksi teroris dan radikal di Irak dan Suriah belum dapat dianggap representasi orang Islam. Teroris dianggap suatu wujud dan bentuk ketidakpuasan dan pemaksaan dari seorang atau sekelompok orang sehingga munculnya kemarahan dan kebodohan.
Selain itu, dia menilai yang dapat menuntaskan persoalan teroris hanya majelis-majelis agama. Terkait sanksi, Mereka pun setuju hukuman mati demi terjadinya penguatan hukum.
Sementara itu, Ketua Pansus pemberantasan terorisme, Muhammad Syafi'i mengatakan secara garis besar sepakat untuk memberi penegasan dalam pasal bahwa tidak ada kaitannya terorisme dengan ajaran agama. Menurutnya penindakan dan pencegahan penting agar tidak meluas pada koorporasi yang ada.
Syafi'i pun mendukung bila objek-objek vital seperti rumah ibadah misalnya yang harus dimasukan ke dalam pasal. Nantinya usulan-usulan ini akan dibawa ke dalam rapat panitia kerja bersama Pemerintah.
“Banyak poin yang masing-masing disampaikan. Harus ada pendekatan-pendekatan yang lebih smooth dari agama, budaya, pendidikan,” kata dia.
Syafi'i mengatakan bahwa terorisme awalnya berkembang karena kurangnya pengalaman dan pemahaman ideologi Pancasila sehingga ada ideologi yang salah ada di tengah masyarakat.
“Oleh karenanya tugas UU inilah yang mengatur pencegahan munculnya paham radikal itu," kata dia.
Editor : Diah Anggraeni Retnaningrum
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...