Matinya Sang Maestro: Lucu dan Getir Nasib Maestro
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Seorang seniman besar bernama Kartolo hidup miskin. Dia tinggal di rumah kontrakan bersama istri dan anak. Rumah kontrakannya sering telat dibayar.
Suatu ketika datang kabar, Pemerintah akan memberi Kartolo hadiah uang 10 Miliar atas jasanya memajukan dunia seni. Dalam Surat Keputusan (SK) disebutkan, kalau hadiah itu diberikan karena ‘jasa-jasanya selama hidup’.
Kalimat itu menimbulkan masalah tafsir. Para pejabat menganggap, ‘uang hadiah itu hanya bisa diberikan setelah ia mati’. Padahal Kartolo masih hidup. Para pejabat bersikeras, SK Pemberian hadiah itu tidak mungkin diubah. Bila diubah, maka itu berarti menanggap SK itu salah atau bermasalah.
Padahal yang bermasalah adalah Kartolo karena belum mati sesuai SK itu. Berita itu menimbulkan kehebohan. Semua orang baik kepada Kartolo dan berharap dapat warisan setelah dia mati. Termasuk istri dan anaknya. Kegetiran dan kelucuan ini membalut kisah ‘Matinya Sang Maestro’.
‘Matinya Sang Maestro’ yang berdurasi dua jam ini dipentaskan ‘Indonesia Kita’ pada Sabtu (12/4) dan Minggu (13/4) di Graha Bakti Budaya Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta.
Pementasan ini diramaikan sejumlah maestro seni kenamaan. Seperti Djaduk Ferianto, Didik Nini Thowok, Marwoto, Trio GAM (Gareng Rakasiwi, Joned, dan Wisben), mereka berasal dari Yogyakarta. Sementara dari Jawa Timur yaitu Kartolo, Yu Ning, dan Sapari. Turut serta juga penyanyi kroncong Sruti Respati.
Tim kreatif ‘Indonesia Kita’ Butet Kartaredjasa mengatakan,”Pementasan ini boleh dibilang sebagai panggung para maestro. Kami sengaja mengumpulkan para maestro di bidang kesenian itu dalam satu panggung, tidak sekedar memberi mereka ruang untuk melakukan kolaborasi, tetapi juga sekaligus ingin belajar dari mereka. Tidak bisa dibantah, seniman-seniman seperti Kartolo, Didik Ninik Thowok, Marwoto, adalah para maestro komedi yang memiliki komitmen dan pengabdian pada dunia seni dan budaya yang menjadi kebanggaan kita. Tetapi justru nasib mereka sering terlupakan atau terpinggirkan.”
”Kartolo sudah lebih dari 70 tahun berkarya, Didik Ninik Thowok sudah hampir 60 tahun berkarya, dan Djaduk Ferianto pada tahun ini mencapai usia 50 tahun. Seluruh pengalaman kreatif mereka, coba saya terjemahkan dan sinergikan dalam pementasan ini,” kata sutradara ‘Matinya Sang Maestro’ , Agus Noor.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Tentara Ukraina Fokus Tahan Laju Rusia dan Bersiap Hadapi Ba...
KHARKIV-UKRAINA, SATUHARAPAN.COM-Keempat pesawat nirawak itu dirancang untuk membawa bom, tetapi seb...