MATP: Nikah Beda Agama Disesuaikan Keyakinan
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Majelis-majelis Agama Tingkat Pusat (MATP) menyatakan pernikahan beda agama harus disesuaikan menurut keyakinan dan ajaran agama masing-masing. Dan kantor catatan sipil harus mencatat pernikahan tersebut.
“Kami telah membuat kesepakatan di dalam MATP terkait perkawinan beda agama, jadi tidak usah dipermasalahan lagi. Kami juga menyerahkan sepenuhnya pemberian izin atau larangan terkait perkawinan beda agama kepada masing-masing agama sesuai ajarannya,” ucap Perwakilan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Slamet Effendy Yusuf di Jakarta, Jumat.
Ia mengatakan, pihaknya telah melakukan rapat pada Jumat (12/9) dengan para majelis agama di antaranya MUI, PGI, PHDI, WALUBI dan MATAKIN.
Rapat MATP itu dihadiri oleh para pengurus majelis-majelis agama yang ada di Indonesia dan dihadiri 13 orang, terdiri enam orang dari MUI, satu orang dari PGI, KWI dan MATAKIN. Serta dua orang dari WALUBI dan PHDI. Rapat MATP berlangsung di Kantor Majelis Ulama Indonesia.
Usai rapat tersebut pihak MATP langsung menggelar konferensi Pers di Aula Kantor MUI yang berada di Jakarta untuk mengumumkan hasil kesepakatan terhadap kawin beda agama.
Hasil rapat tersebut para majelis membuat tiga kesepakatan yaitu perkawinan adalah peristiwa yang sakral oleh sebab itu pada dasarnya harus dilakukan sesuai dengan ajaran agama masing-masing.
Bukan itu saja, negara wajib mencatat perkawinan yang sudah disahkan oleh agama sesuai UU No 1 Tahun 1974 dan kewajiban negara untuk mencatat perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan dan dicatatkan di Catatan Sipil sesuai UU No 23 Tahun 2006 jo UU No 24 Tahun 2013 Tentang Administrasi Kependudukan.
“Semuanya sudah jelas dan pada dasarnya disesuaikan menurut agama masing-masing,” ucap mantan anggota DPR RI tersebut.
Dalam konferensi pers tersebut, MATP tidak secara langsung menyatakan sikap menolak atau menerima sebuah pernikahan beda agama, karena sikap tersebut menjadi hak setiap agama untuk menentukan.
Namun, menurut Jeirry Sumampow sekretaris bidang Diakonia PGI, poin ketiga kesepakatan itu dimunculkan untuk mengakomodir pernikahan beda agama. “Tapi semua majelis agama sepakat bahwa pernikahan itu harus dilakukan melalui agama. Tapi sebetulnya ada kesamaan bahwa negara punya kewajiban untuk mencatatkan setiap peristiwa perkawinan di setiap warga negaranya. Itu kewajiban negara yang tidak boleh tidak dilakukan,” kata dia.
Ia mengatakan, praktik pernikahan beda agama banyak terjadi sampai hari ini. Meskipun menurut UU Perkawinan tidak bisa dilaksanakan, tetapi UU Administrasi Kependudukan justru memberikan ruang itu. UU Perkawinan tidak mengizinkan karena negara harus menunggu surat pengesahan dari otoritas agama.
Bagi Jeirry, pernikahan secara agama penting agar pernikahan tetap sakral, tidak murahan. Sehingga lembaga pernikahan tetap dihormati.
Sementara negara bertugas untuk mencatat pernikahan warga negaranya. Pencatatan negara ini penting karena berdampak hukum, misalnya terkait hak waris dan keturunan. “Dalam mencatatkan (pernikahan) negara seharusnya tidak boleh ada kategori agama,” katanya.
Sehingga, kata dia, pencatatan negara itu bukan hanya hak bagi mereka yang menikah dengan agama yang sama, tetapi juga yang berbeda agama, bahkan bagi mereka yang tidak menganut enam agama yang diakui negara. (Ant/icrp)
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...