Mayoritas dan Minoritas dalam Pemerintahan Kota di Palestina
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Anggota Dewan Kota Bethlehem, Palestina, Maher Canawati menguraikan, Presiden Yasser Arafat sebelum meninggal telah membuat keppres (keputusan presiden) yang menyatakan setiap pemerintahan baik nasional maupun lokal harus memperhatikan keberadaan minoritas di samping mayoritas.
Di daerah-daerah yang dahulu sebenarnya wilayah Kristen, namun sekarang Kristen menjadi minoritas, misalnya di kota Bethlehem–daerah yang ia wakili–warga Kristennya hanya 26 persen, telah dibuatkan keppres bahwa dari 15 anggota dewan kota tersebut, delapan harus Kristen, tujuh Islam, sehingga wali kotanya juga harus Kristen. Kota demikian di Palestina ada 10.
Pada kesempatan itu, Canawati menuturkan bahwa Bethlehem adalah kota paling aman di Palestina. Konflik yang terjadi tidak berimbas pada situs-situs rohani yang ada di tepi barat, bahkan tidak ada satu roket pun yang tiba tempat-tempat suci di sana.
“Biarlah perjuangan kami lakukan di atas meja diplomasi, karena kami sudah lelah berperang terus,” ucap Canawati yang ditemui satuharapan.com dalam kesempatan Press Conference di Gracia Tour & Travel, Gambir, Jakarta Pusat, Jumat (5/8). Kedatangannya itu dalam rangka memberikan informasi tentang bagaimana kondisi Palestina sekarang.
Ia juga menginformasikan bahwa tidak ada hambatan di setiap pos-pos pemeriksaan antarkota, semua gerbang selalu terbuka untuk grup-grup peziarah. Terlebih setelah genjatan senjata, para wisatawan tidak perlu khawatir lagi, di sekitar jalan Gaza sangat mudah diakses.
Peziarah dapat dengan leluasa mendatangi tempat-tempat suci seperti Gereja Kelahiran Kristus, Gereja Padang Gembala, Gereja Makam Kudus, Via Dolorosa, dan tempat rohani lainnya, yang dikatakan Canawati kesemuanya ada 70 situs bersejarah.
Selain Yerusalem, dikatakan Canawati, Bethlehem adalah kota yang identik dengan toleransi. Gereja Kelahiran Kristus dan Masjid Umar bin Khattab yang terletak berhadapan menjadi lambang toleransi di kota tersebut.
Masjid Umar bin Khattab dinamai sesuai khalifah kedua yang menguasai Yerusalem pada tahun 637. Meskipun mereka telah berkuasa, tetapi Gereja Kelahiran Yesus yang telah dibangun dua ratus tahun sebelumnya atas perintah Ratu Helena, dipastikan Umar tidak boleh diusik oleh siapapun. Bagi Umar, Yesus dari Nazaret merupakan nabi yang dihormati di antara umat Islam.
Berdasarkan apa yang diceritakan Canawati, Umar melemparkan batu sejauh-jauhnya dari gereja tersebut, lalu di sanalah ia berdoa, di tempat yang kini berdiri masjid. Namun masjid itu baru didirikan pada 1860, dan baru direnovasi saat Bethlehem di bawah kekuasaan Yordania.
Sampai saat ini, masjid itu masih disumbang oleh Gereja Yunani Ortodoks. Biasanya pada malam sebelum Natal, umat Kristen dan Islam di Bethlehem menyalakan pelita berbahan bakar minyak zaitun sebagai lambang toleransi umat Islam-Kristen di kota itu. Bahkan, parade Natal yang diadakan di Lapangan Palungan (Manger Square) diikuti oleh segenap penduduk Bethlehem tanpa membedakan agama.
Di antara orang Palestina, mereka saling menyapa dengan ucapan “Assalamualaikum”. Selain itu, orang Kristen Palestina berdasarkan tradisi ratusan tahun juga ikut berpuasa pada bulan Ramadan. Kalaupun tidak ikut berpuasa, mereka tidak secara provokatif makan di depan saudara Muslim yang berpuasa. Saat Idul Fitri–hari raya penting bagi umat Islam, seluruh penduduk Palestina juga merayakannya bersama-sama.
Editor : Bayu Probo
Uskup Suharyo: Semua Agama Ajarkan Kemanusiaan
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Uskup Agung Jakarta Kardinal Ignatius Suharyo Hardjoatmodjo mengatakan ap...