MEA dan Internasionalisasi Bahasa Indonesia
MEA (Masyarakat Ekonomi Asia) akan menjadi tantangan berat bagi Indonesia, bukan hanya dalam hal ekonomi, tetapi juga politik bahasa. Sudah siapkah kita?
SATUHARAPAN.COM - MEA merupakan corong bagi warga ASEAN untuk melebur dalam perekonomian yang hampir tak ada batas. Semua bebas bergerak, berinovasi, berdagang, dan bertransaksi, sekali lagi, hampir tanpa batas-batas teritorial. Tetapi, MEA bukanlah semata urusan ekonomi. MEA juga urusan bahasa, bahkan budaya. Karena itulah negara-negara lain sejak dini, sebagaimana diungkapkan Chairperson Enciety Business Consult, Kresnayana Yahya, telah jauh-jauh hari belajar bahasa Indonesia, seperti Vietnam, Thailand, Myanmar, dan Filipina.
Hal itu masuk akal sebab cara utama untuk masuk dan menaklukkan sebuah bangsa adalah melalui penguasaan bahasa, sastra, dan budaya, bukan kekuatan militer. Hal itu setidaknya sudah terbukti untuk rakyat Aceh. Betapapun bangsa penjajah sudah demikian kuat, mereka tetap saja tak bisa menaklukkan Aceh, kecuali ketika Christian Snouck Hurgronje yang paham betul bahasa dan budaya Aceh akhirnya datang. Itu artinya bahwa bahasa juga adalah senjata, bahkan lebih tajam dari senjata apa pun.
Sebagai senjata, fungsinya ada dua: menaklukkan atau ditaklukkan. Dalam hal ini, menaklukkan tentu saja tidak sinonim dengan membunuh, apalagi membantai. Menaklukkan lebih pada bagaimana menyebarkan ideologi, budaya, dan sendi-sendi lainnya. Ditaklukkan juga bukan berarti terbunuh. Ditaklukkan lebih pada bagaimana kita ditanggalkan dari ideologi dan budaya kita yang lalu menerima, bahkan menempatkan adab dan budaya asing sebagai yang paling tinggi. Pertanyaannya sekarang adalah, senjata mana yang akan kita pilih, menaklukkan atau ditaklukkan?
Lumbung Kata-Kata
Jika melihat gejala-gejala sejauh ini, rasanya tak salah kalau saya menyebut bahwa kita dominan lebih memilih ditaklukkan daripada menaklukkan. Saya sebut demikian karena simaklah, saat orang lain sudah sibuk mempelajari apa-apa tentang kita, kita malah terkesan bangga mereka melakukan itu tanpa memasang kuda-kuda yang baik, terutama dalam hal bahasa. Bahkan belakangan, pemerintah tak lagi mewajibkan bahasa Indonesia pada tenaga kerja asing yang akan masuk ke negara kita. Ini tentu sangat menggelisahkan. Sebab, sejatinya bahasa Latin “punah” bukan karena sulitnya kita untuk membahasakannya.
Bahasa Latin “punah” karena mereka takluk pada bahasa-bahasa lain. Kita tahu, Latin merupakan akar dari banyak bahasa di dunia, termasuk Perancis, Spanyol, Portugis, Italia, dan sebagainya. Dengan kata lain, bahasa Latin adalah ibu dari banyak bahasa (lingua franca). Bahkan, hingga detik ini, bahasa Latin masih tetap dimaknai sebagai bahasa akademis, terminologi, etimologi, taksonomi, dan sebagainya. Hanya saja, posisi Latin pada bahasa akademis itu sudah lebih pada akademis, bukan lagi sebagai bahasa. Akhirnya, bahasa Latin tinggal menjadi kenangan.
Bahasa daerah kita pun kiranya juga mengalami hal yang sama dengan bahasa Latin. Bahasa daerah kita banyak tumbang bukan karena susah untuk dibahasakan. Sama sekali tidak. Lebih-lebih, bahasa daerah tumbang bukan karena tak ada lagi penuturnya seperti yang selama ini dituduhkan. Bahasa daerah tumbang, ya, justru karena kita menumbangkannya dengan menggusurnya dari percakapan nasional. Bahasa kasarnya, bahasa Indonesialah yang menumbangkan bahasa daerah. Memang, pada kenyataannya, bahasa daerah banyak dibuat menjadi bahasa Indonesia.
Dengan kata lain, bahasa daerah menjadi lumbung kata-kata untuk bahasa Indonesia sebagaimana bahasa Indonesia juga menjadi lumbung untuk bahasa Inggris. Oxford English Dictionary edisi II (1989), misalnya, telah menyerap dari 350 bahasa dunia, termasuk dari bahasa Indonesia, seperti satai, sambal, batik, orangutan, dan masih banyak lagi. Kalau kita lihat KBBI, sejauh ini, sudah ada 3.600 kata atau entri (Denny A. Kwary, 2016) yang diserap menjadi bahasa Indonesia. Sayangnya, posisi bahasa daerah cukup sebagai lumbung, bukan sebagai kata untuk disuarakan. Imbasnya, bahasa daerah pun terancam punah dan tinggal menjadi kenangan, seperti bahasa Latin.
Padahal, pada mulanya, bahasa daerah masih lebih populer daripada bahasa Indonesia (juga pada masa itu, bahasa Latin lebih populer daripada bahasa Inggris). Bahasa Indonesia kala itu juga jauh tertinggal dari eksistensi pengguna bahasa daerah (misalnya; bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Madura, dan bahasa Batak). Namun, lambat laun, bahasa daerah mulai tersingkir, bahkan beberapa punah. Nah, ketika bahasa daerah tersingkir, di sinilah bahasa Indonesia menduduki kasta tertinggi. Hal itu setidaknya bisa kita jajaki pada tulisan Goebel (2015) Language and Superdiversity: Indonesians Knowledging at Home and Abroad.
Di sana ditunjukkan bahwa bahasa Indonesia mengalami perkembangan yang signifikan, baik di dalam maupun luar negeri. Maka itulah, pada survei yang dilakukan Goebel (2015) disebutkan bahwa pada tahun 1990-an pengguna bahasa Indonesia sudah bisa menggeser pengguna bahasa daerah. Koleksi kata kita pun bertambah. Simak saja paparan Sugono (2014) tentang perjalanan historis Kamus Besar Bahasa Indonesia ( KBBI). KBBI edisi I (1988) masih ada 62.000 lema. Lalu, pada KBBI edisi II (1991), jumlah bertambah menjadi 72.000 lema, KBBI edisi III (2001) sudah 78.000 lema plus 2.034 peribahasa, dan kini, KBBI edisi IV (2008) bahkan sudah memuat 90.049 lema plus 2.036 peribahasa.
Momentum
Ini sudah cukup membuktikan bahawa bahasa Indonesia sangat berkembang. Tetapi kini, perkembangan itu sepertinya mengalami titik maksimal. Bahasa Indonesia mulai tergusur oleh bahasa asing. Peristiwanya persis ketika bahasa daerah tergusur oleh bahasa Indonesia. Ini tak berlebihan. Tolehlah apa yang pernah disitir The New York Times (25 Juli 2010) dengan judulnya yang provokatif: “As English Spreads, Indonesia Fear for Their Languages”. Di sana dikisahkan beberapa anak yang bermain di Jakarta sudah mahir menggunakan bahasa Inggris, tetapi tak tahu berbahasa Indonesia sama sekali.
“Mereka tahu bahwa mereka adalah anak Indonesia. Mereka cinta Indonesia. Hanya saja mereka tak dapat berbahasa Indonesia,” demikian kata Sang Ibu pada The New York Times. Bukankah ini pantas dikhawatirkan? Ya, mengatasi ini, tak lama ini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memang sudah mengajak seluruh gubernur dan bupati/wali kota Indonesia untuk mengutamakan penggunaan Bahasa Indonesia melalui surat Nomor 5947/G/BS/2016 tentang Pemartabatan Bahasa Indonesia. Bahkan, kini, sekelompok mahasiswa (BEM UEU) sedang menggugat MK karena bahasa Indonesia menjadi tamu di rumahnya.
Masalahnya, apalah artinya ini, jika sekelompok orang berjuang, sekelompok lainnya malah mencelakakan? Tak usah muluk-muluk. Secara konstitusional, misalnya, kita diberi tanggung jawab menginternasionalisasikan bahasa Indonesia. Pasal 44 UU Nomor 24 Tahun 2009 ayat 2 mengamanatkan agar kita membuat bahasa Indonesia menjadi bahasa Internasional. Kesempatan ini sedianya akan menemukan momentumnya pada MEA. Akan tetapi, apa yang kita lihat. Pemerintah malah membebaskan tenaga kerja asing tanpa harus “memahami” bahasa Indonesia.
Lalu, bagaimana kita menginternasionalisasikannya kalau, toh, orang luar tak wajib mempelajari bahasa kita? Malah, kita belakangan yang harus mempelajari bahasa mereka? Mudah-mudahan bulan semarak bahasa ini bisa menjadi masa merenung agar kita kembali ke titah dalam menginternasionalisasikan bahasa Indonesia. Apalagi konon, kita sedang berada pada pasar global dan MEA. Ini harus menjadi momentum besar dalam mengembangkan bahasa Indonesia, bukan malah mengerangkengnya. Semoga!
Penulis adalah pengajar bahasa Indonesia di Medan
Editor : Trisno S Sutanto
Dampak Childfree Pada Wanita
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Praktisi Kesehatan Masyarakat dr. Ngabila Salama membeberkan sejumlah dam...