Media Independen dan KPI yang Mandul
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Menjelang Pemilihan Presiden 2014 (Pilpres 2014) pada 9 Juli 2014 mendatang, sejumlah piranti disiapkan oleh masing-masing tim sukses calon presiden dan wakil presiden untuk menarik simpati dari masyarakat. Salah satu piranti paling vital dalam membentuk opini publik adalah media. Piranti yang satu ini dinilai sangat efektif sebagai medium kampanye. Pasalnya, baik media cetak, elektronik, maupun dunia maya, merupakan piranti yang saban hari dikonsumsi oleh masyarakat dari berbagai lapisan.
Terkait dengan peran media inilah, Lembaga Pers Mahasiswa HIMMAH Universitas Islam Indonesia (LPM HIMMAH UII) menggelar talkshow pada Minggu (8/6) di Kongkalikong Kafe, Jalan Taman Siswa, Kota Yogyakarta. Talkshow yang mengangkat tema “Peran Jurnalistik Menjelang Pemilihan Presiden” ini menampilkan beberapa narasumber, yaitu Bambang Muryanto (AJI Yogyakarta) dan Regina Safri (wartawati dan fotografer LKBN Antara). Selain talkshow, acara yang digelar mulai sore hingga malam hari tersebut juga diisi pula dengan pameran foto jurnalistik.
Bambang Muryanto membuka talkshow dengan mengangkat keresahan seputar independensi beberapa media yang kini mulai patut dipertanyakan. Bagi pria yang aktif di Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) ini, media seharusnya menjadi pihak yang netral dengan memberikan informasi yang sebenar-benarnya kepada masyarakat. Di tataran pilpres, media seharusnya tidak memihak salah satu golongan atau pasangan calon presiden dan wakil presiden.
“Media massa merupakan alat untuk memberikan informasi dan edukasi seputar pemilu, termasuk sosok presiden. Oleh karena itu, media harus independen untuk memberikan informasi, tak terkecuali kritik, sehingga masyarakat mendapatkan informasi yang sebenarnya. Diharapkan dengan adanya informasi tersebut, masyarakat mampu membuat keputusan untuk memilih siapa calon yang layak menjadi presiden. Inilah yang seharusnya media lakukan. Bukan justru memihak pada salah satu calon,” ungkap Bambang.
Ketika disinggung tentang fenomena media yang mulai memihak, Bambang justru mempertanyakan kinerja Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Dewan Pers yang terkesan tak bisa berbuat apa-apa. Bagi Bambang, seharusnya Dewan Pers dan KPI menjadi pihak yang memfilter setiap asupan informasi yang disampaikan ke publik.
“Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Dewan Pers yang seharusnya memberikan warning ketika ada stasiun televis yang melanggar kode etik. Tetapi pada kenyataannya, aturan yang mengatur tayangan di televisi justru banyak bolongnya. Pasalnya orang yang mempunyai televisi merupakan elite sehingga bisa ‘mengakali’ aturan,” ujar pria berkepala plontos ini.
Ketika disinggung tentang maraknya black campaign, Bambang justru menyoroti tentang karakter orang Indonesia yang dinilai belum dewasa secara politik. Hal tersebut memungkinkan black campaign dapat tumbuh subur di negeri ini.
“Kampanye hitam lebih tepat disebut sebagai fitnah. Hal ini mudah berkembang di Indonesia karena masyarakat belum dewasa secara politik karena akses terhadap informasi sangat terbatas. Akses terbatas inilah yang membuat orang tidak faham terhadap esensi black campaign. Black campaign ini akan ternetralisir dengan sendiri ketika masyarakat mendapatkan well educated dan well inform,” tambah Bambang.
Terkait dengan informasi yang jujur dan tidak memihak, Regina yang merupakan fotografer sengaja menyodorkan foto sebagai salah satu bentuk informasi yang jujur. Bagi Regina, foto mampu menyajikan informasi secara apa adanya dan tanpa memihak.
“Foto memiliki kekuatan, yaitu mampu menyajikan apa adanya, jujur, dan lebih susah untuk dimanipulasi. Foto yang mampu menyediakan informasi, dapat memberikan masukan kepada masyarakat ketika mereka melihat foto tersebut. Foto-foto seperti sosialisasi mencoblos yang benar dan hal-hal yang berkaitan dengan kampanye, membuat masyarakat dapat terbantu dengan melihat hasil foto,” ucap perempuan yang akrab disapa Rere tersebut.
Di sisi lain, Rere juga menambahkan agar media mampu mengedepankan independensinya sehingga tetap menjadi pihak yang mampu memberikan edukasi kepada masyarakat. Jika suatu media mulai tidak jujur ketika menyampaikan informasi, maka saat itu pula kepercayaan publik akan luntur terhadap media tersebut. Pasalnya, kunci agar suatu media dapat terus berkembang adalah kepercayaan.
“Kunci media adalah kepercayaan. Oleh karena itu, semua informasi yang diberikan harus jujur, sesuai dengan peristiwa yang terjadi. Ini akan membuat masyarakat percaya sekaligus mengedukasi masyarakat tentang hal yang sebenarnya,” tambah Rere.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Jepang Bahas Rudal Korut
TOKYO, SATUHARAPAN.COM - Perdana Menteri Jepang Shigeru Ishiba mengumumkan bahwa Dewan Keamanan Nasi...