Media Massa di Tengah Banjir Hoax
SATUHARAPAN.COM-Lebih dari 17 tahun pers dan masyarakat Indonesia menikmati kebebasan berpendapat, setelah reformasi nasional yang mengakhiri era Orde Baru pada tahun 1998. Kebebasan berpendapat dan kemerdekaan pers merupakan salah satu tuntutan dari reformasi itu.
Buah dari reformasi itu adalah wartawan bekerja lebih leluasa dalam mengungkapkan realitas dan fakta yang ada di masyarakat, serta mengutip pendapat yang lebih kritis. Untuk menerbitkan sebuah surat kabar juga menjadi lebih mudah, dan tidak lagi dikekang oleh keharusan memiliki SIUPP (Surat Izin Penerbitan Pers).
Dalam tahun-tahun awal reformasi, terbitan baru pun segera muncul seperti jamur yang tumbuh di musim hujan. Namun juga secepat musim berubah, banyak terbitan yang tak bisa bertahan lama, dan segera hilang dari peredaran.
Pada sekitar lima tahun awal setelah reformasi, sorotan pada media mulai berubah menjadi agak ‘’miring.’’ Mulailah muncul kritik terhadap media massa, terutama dari sisi kualitas. Suara-suara makin keras mengritik media massa karena makin banyak yang dinilai makin kurang taat pada aturan dan kode etik jurnalistik.
Pada satu dekade setelah reformasi, isu terkait media massa yang muncul adalah kuatnya aspek bisnis dalam pengelolaan media massa. Banyak pemilik modal besar yang masuk ke dan menguasai bisnis media massa.
Bagi wartawan, pada era ini, kebebasan mulai mengalami erosi, karena setelah terbebas dari kekangan penguasa, masuk pada tekanan pemilik modal. Bahkan sempat perlindungan wartawan, terutama mereka yang tetap dalam idealisme dan kritis, menjadi makin lemah, karena ketika di lapangan tak jarang mereka harus berhadapan dengan premanisme.
Era Teknologi Informasi
Bagi pers Indonesia, awal melenium ini, terutama makin terasa di pertengahan dekade pertama, dinamika pers diwarnai oleh perkembangan teknologi informasi, khususnya internet dan kemudian media sosial yang tumbuh dengan pesat.
Sebuah perubahan yang sangat berpengaruh adalah bahwa arus informasi menjadi makin deras (bahkan ada yang menyebutnya sebagai tsunami informasi). Sumber informasi semakin luas, dan publik tidak hanya menerima informasi yang disodorkan, tetapi bisa memburunya sendiri. Bahkan penyebaran informasi antar warga menjadi keniscayaan.
Media massa kemudian diramaikan oleh pertumbuhan pesat situs berita, situs yang dikelola lembaga atau perorangan, serta blog. Dan sekarang semua media media massa harus berkompetisi juga dengan media sosial yang tumbuh dengan masif.
Fenomena ini, meskipun disambut, menghadapkan masyarakat untuk berjuang ‘’sendiri’’ menilai informasi yang beredar, bahkan yang ‘’menggedor’’ ke hadapan mereka. Informasi yang memenuhi standar jurnalistik dengan yang bukan jurnalistik, bahkan informasi bohong dan menabrak etika, berhamburan di hadapan warga.
Rendaknya tingkat ketahanan masyarakat untuk menyaring informasi tampaknya yang mendorong membanjirnya berita bohong atau hoax, bahkan informasi yang menghasut kekerasan atau menyebarkan kebencian. Dan kita sekarang dirisaukan oleh kenyataan ini, yang bahkan berpotensi memicu konflik di masyarakat dan melemahkan ketahanan negara.
Sikap Komunitas Jurnalistik
Dalam perkembangan terakhir Dewan Pers merespons situasi ini antara lain dengan mendata media massa, dan hal ini akan membantu masyarakat untuk mengenali mana media yang menyampaikan informasi yang diolah dengan standar jurnalistik dan mana yang tidak.
Hal ini menjadi penting, karena publik perlu ‘’dibantu’’ mengetahui apakah informasi di hadapan mereka itu merupakan informasi yang diperoleh, diproses dan disebarkan melalui kaidah dan etika jurnalistik. Dan hal ini akan menjadi ukuran bagaimana UU yang terkait Pers dan kode etik yang telah ditetapkan oleh organisasi wartawan ditaati dalam dunia pers kita.
Proses itu memang tidak mudah untuk diwujudkan oleh dunia pers Indonesia, apalagi tantangan yang dihadapi juga menyangkut adanya jurnalistik warga, media (terutama situs internet) yang dikelola di luar perusahaan pers, dan media sosial yang menyebarkan informasi secara masif. Masalahnya, pada media-media seperti itu, lebih terbuka untuk digunakan dalam menyebarkan berita bohong atau hoax, informasi kebencian, dan hasutan kekerasan.
Mengatasi masalah itu, memang bukan sepenuhnya ada di pundak komunitas jurnalistik dan pers. Namun pada peringatan Hari Pers Nasional tahun 2017 yang jatuh hari Kamis (9/2), realitas dio atas pantas untuk menjadi penegasan bahwa krebibilitas pers tetap bergantung pada ketaatan kaidah jurnalistik, pada aturan dan komitmen pada etika jurnalistik. Maka sebuah ironi, jika ada yang menyebut bahwa berita bohong juga muncul di media jurnalistik.
Selamat Hari Pers Nasional, semoga pers Indonesia tumbuh berkontribusi bagi kekuatan Indonesia dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan dan reformasi.
Editor : Sabar Subekti
Jerman Berduka, Lima Tewas dan 200 Terluka dalam Serangan di...
MAGDEBURG-JERMAN, SATUHARAPAN.COM-Warga Jerman pada hari Sabtu (21/12) berduka atas para korban sera...