Makin Dewasa Berdemokrasi
SATUHARAPAN.COM-Sejak reformasi tahun 1998, kita telah melalui empat kali pemilihan umum parlemen dalam suasana yang lebih merdeka dan diselenggarakan dengan lebih fair dibanding era sebelumnya. Dan setelah itu, tiga kali kita memilih presiden secara langsung, dan tiga kali memilih kepala daerah (wali kota, bupati dan gubernur) juga secara langsung.
Dalam kurun 18 tahun ini, sebagian besar dari warga negara yang telah mempunyai hak pilih dan menggunakan haknya, telah mengikuti 13 kali proses politik. Dan itu adalah pengalaman yang sangat cukup dalam membangun kualitas demokrasi kita, tentang bagaimana seharusnya kita memilih wakil rakyat dan pemimpin eksekutif yang berkualitas.
Dalam belasan kali pengalaman menentukan pilihan di bilik suara dan melihat hasilnya, kita juga telah merasakan berbagai macam hasilnya, tentang kepala daerah yang kinerjanya baik, dan kepala daerah kinerjanya buruk, bahkan akhirnya menjadi target Komisi Pemberantasan Korupsi.
Dari sisi penyelenggaraan, selama 18 tahun ini, semestinya juga kita telah banyak makan asam garam bagaimana pemilihan umum yang berkualitas dan mencerminkan kebebasan dan keadilan diselenggarakan. Bahkan juga berpengalaman dalam hal-hal teknis pendataan pemilih, pengadaan dan distrubusi surat suara dan penghitungan yang akurat harus dilakukan.
Dari pengalaman ini, sudah semestinya proses politik kita menjadi lebih berkualitas dalam penyelenggaraan, dan kita lebih dewasa dalam berdemokrasi. Dan kita harapkan bahwa hal itu akan menjadi kenyataan dalam pemilihan kepala daerah serentak yang pemungutan suaranya akan dilakukan hari Rabu (15/2).
Hindari Politik Uang
Dari belasan kali penyelenggaraan pemilu itu, kita patut untuk melihat hal-hal buruk yang pernah kita rasakan. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa praktik politik uang menjadi pengalaman pahit dan menjadi racun dalam kehidupan demokrasi dan kenegaraan kita.
Kekecewaan kita pada kinerja para wakil rakyat dan kepala daerah, antara lain akibat kita membiarkan terjadinya praktik politik uang yang mendorong proses politik sekadar relasi transaksional. Bahkan untuk itu kita harus menyaksikan dengan pedih uang negara dikorupsi, dan wakil rakyat serta kepala daerah banyak yang menjadi pesakitan kasus korupsi.
Pengalaman itu, sudah semestinya melahirkan tekad bagi kita semua untuk menolak setiap praktik politik uang dalam pemilihan kepala daerah kali ini. Cara yang paling efektif justru perlu dilakukan oleh para pemilih yang sekarang dalam posisi memegang kedaulatan penuh, yaitu dengan membuat politik uang tidak relevan. Tolaklah uang pembelian suara, atau kalau tidak bisa menolak, independenlah ketika berada di bilik suara.
Tinggalkan Politik Identitas
Hal lain yang patut dicatat dalam pengalaman belasan kali pemilu adalah praktik politik identitas atau bahkan politik sektarian. Politik seperti itu, sama artinya kita memberi blangko kosong bagi calon. Memilih atas dasar kesamaan identitas atau sekte merupakan cara berfikir ambigu; di satu sisi kita menuntut kepala daerah yang akan bekerja keras untuk pembangunan dan bersikap adil, tetapi pertimbangan kita tidak didasarkan pada catatan kualitas dan kinerja figur.
Dampak terberat dari hasil pemilihan yang demikian akan dirasakan oleh rakyat sendiri, terutama adalah kemungkinan besar yang terpilih gagal menjalankan pemerintahan yang berkualitas dan bersih. Pemerintahan dari hasil pemilihan yang didominasi oleh politik identitas akan cenderung loyal hanya pada kelompok tertentu, dan berarti menanam benih konflik.
Pemerintahan hasil dari proses politik seperti itu juga akan cenderung otoritarian dan abai pada aspek keadilan, dan korup. Politik jenis ini juga berkecenderungan memperburuk dan melestarikan kompetisi politik; meskipun pemilu telah selesai dan hasilnya disahkan. Pemerintahan seperti itu rentan gagal menjalankan pembangunan, karena miskin kemampuan bekerja sama, dan energi terkuras untuk kompetisi.
Daerah Yang Kuat
Di satu sisi, pengalaman belasan kali pemilu yang menunjukkan sejumlah daerah dengan pemerintahan yang berkinerja baik, dan menjadi daerah yang maju. Dan ini umumnya terjadi dengan kepala daerah yang serius melayani seluruh rakyat dan fokus pada pembangunan kesejahteraan bersama. Salah satu indikasinya adalah pemerintahan ini tidak korup, tidak sektarian.
Pilkada kali ini yang diselenggarakan di 101 daerah (7 provinsi, 76 kabupaten dan 18 kota) diharapkan menghasilkan kepala daerah berkualitas yang fokus pada pembangunan dan perbaikan kinerja birokrasi yang adil dan melayani. Sebab, Indonesia membutuhkan daerah-daerah yang maju, yang mampu menangkap peluang ekonomi global.
Bagi rakyat, sangat peting memiliki kesadaran bahwa pemerintah daerah yang kinerjanya baik dan terukur, yang akan menjadi pembuka jalan bagi pemerataan pembangunan dan keadilan bangsa kita. Dan itu berarti perlu kesadaran untuk mengambil tanggung jawab dan kewajiban memilih kepala daerah dengan pertimbangan dan kriteria yang rasional.
Selamat berdemokrasi secara dewasa, semoga 101 daerah akan memilih pemimpin yang berkualitas dan adil, dan Indonesia bisa melihat hari depan yang makin baik dan bermartabat.
Editor : Sabar Subekti
AS Laporkan Kasus Flu Burung Parah Pertama pada Manusia
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Seorang pria di Louisiana, Amerika Serikat, menderita penyakit parah perta...