Indonesia, Saudi dan Radikalisme
SATUHARAPAN.COM-Kunjungan Raja Arab Saudi, Salman bin Abdulaziz al-Saud, pekan ini di Indonesia merupakan kunjungan pertama setelah 46 tahun, setelah kunjungan Raja Faisal. Kunjungan ini juga yang terlama (12 hari), dalam tur ke lima negara di Asia selama 31 hari.
Kunjungan ini mempunyai makna penting bagi kedua negara, karena Indonesia maupun Arab Saudi termasuk negara dengan mayoritas penduduk Muslim yang mempunyai bisa bermain dengan peran penting dalam dunia Islam.
Apakah kunjungan yang cukup lama ini, meskipun sebagian waktu lebih sebagai wisata keluarga ke Bali, bisa dimanfaatkan kedua negara untuk membahas hal-hal yang serius, terutama dalam isu agama dan peranan di dunia Islam?
Pihak pemerintah Indonesia menyebutkan telah disiapkan 10 nota kesepahaman yang akan ditandatangani dalam momentum pertemuan kedua kepala negara, terutama terkait dengan masalah agama dan ekonomi.
Masalah atau isu agama (Islam) sangan penting menjadi topik pembahasan antara Indonesia dan Arab Saudi, dan diharapkan tidak sekadar untuk mendapatkan kesepakatan kenaikan quota jemaah haji. Sebab dalam dua dekade awal abad ke-21 ini, masalah radikalisme dan terorisme yang dikaitkan dengan Islam telah menjadi masalah global yang mendesak untuk disikapi kedua negara untuk menemukan solusi.
Garis Antara Islam dan Terorisme
Masalah agama, tampaknya juga telah menjadi agenda dari Raja Salman. Di negara tujuan pertama dalam turnya, Malaysia, Raja Salman telah menyinggung hal itu. Dia mengatakan bahwa negaranya mendukung prinsip-prinsip dan kepentingan Islam di seluruh dunia.
Dia menegaskan, kerajaan Arab Saudi berdiri dengan segala kekuatannya di belakang kepentingan Islam pada umumnya dan sepenuhnya siap membantu dan bekerja sama dengan Malaysia dalam upaya melayani isu-isu Muslim.
Masalah yang paling serius untuk dibahas adalah tentang radikalisme dan terorisme yang telah menjadi masalah global. Arus pengungsian besar-besaran telah menunjukkan berasal dari negara-negara yang menghadapi konflik sektarian dan kekerasan, dan sebagian besar terkait dengan kelompok radikal yang menggunakan label Islamis.
Bahkan aksi terorisme yang terjadi di Eropa dan Amerika, sebagian besar tertkait dengan imigran dan klaim-klaim oleh Islamis. Jadi, meskipun kelompok-kelompok radikal dan organisasi terorisme selalu disebutkan sebagai di luar Islam atau mereka membajak Islam, klaim-klaim mereka hampir selalu menunjuk pada Islamis.
Situasi itu disoroti makin tajam terkait situasi di Timur Tengah dan Afrika Utara, di mana konflik sektarian telah menjadi bencana di sejumlah negara. Tambahan lagi, Musim Semi Arab, yang semula dikira akan menjadi angin segar bagi demokrasi di negara-negara Timur Tengah, telah menjadi badai yang mematikan dan tak kunjung reda hingga sekarang.
Garis Batas Yang Tegas
Setiap kali ada aksi teror dan radikal dari kelompok yang menyebut diri Islamis, muncul komentar dari para kepala negara, pejabat negara dan tokoh agama, bahwa hal itu tidak terkait Islam, bahkan mereka sebagai mengkhianati Islam. Namun tidak bisa diabaikan bahwa orang-orang dari kelompok ekstremis itu muncul dari komunitas atau lembaga keagamaan.
Oleh karena itu, Indonesia dan Arab Saudi, dua negara yang mempunyai posisi penting dalam dunia Islam, harus berani mengambil sikap tegas. Jika terorisme dan radikalisme ada di luar Islam, kedua negara seharusnya berani untuk membuat garis yang tegas antara Islam yang diwartakan sebagai ‘’rahmatan lil alamin’’ dengan kelompok radikal dan organisasi terorisme yang menyebar bencana.
Sejauh ini garis itu mungkin telah dinyatakan oleh banyak kepala negara pejabat pemerintah dan ulama. Namun dengan perkembangnya radikalisme belakangan ini, garis batas itu diperlukan dengan ketegasan melalui tindakan negara, dan diperkuat dengan kerja sama antara negara (bilateral maupun multilateral).
Stabilitas Tanpa Radikalisme
Isu ekonomi, memang merupakan isu yang penting untuk dibahas. Banyak negara dengan mayoritas penduduknya Muslim, termasuk Indonesia, juga menghadapi masalah ekonomi yang sulit. Namu masalah ekonomi ini tampaknya lebih sebagai akibat, ketimbang penyebab. Instabilitas di banyak negara adalah akibat tumbuhnya radikalisme, yang membuat guncangan keras dalam politik dan sosial, sehingga agenda negara menjadi kacau.
Situasi tak stabil ini yang pada gilirannya mengakibatkan kemerosotan ekonomi, terutama yang terlihat dengan banyaknya pengangguran. Sayangnya, situasi ini justru yang memberi peluang bagi kelompok radikal dan organisasi terorisme untuk merekrut orang-orang dalam aksi mereka.
Situasi ini memang dilematis, bangunan ekonomi akan hancur oleh radikalisme dan terorisme, dan pembangunan ekonomi menjadi berat dan boros ketika radikalisme dan terorisme masih bergentayangan. Di sisi lain, perl;u membendung perekrutan radikal yang harus ditempuh melalui pembangunan ekonomi.
Oleh karena itu, isu agama dan ekonomi yang akan dibahas antara Presiden Joko Widodo dan Raja Salman, sangat penting bagi kedua negara dan wilayah yang menyekitarinya. Fokusnya semestinya pada arah membangun stabilitas dalam negeri maupun regional. Dan kunci itu adalah pada hasil yang dicapai dalam mengatasi radikalisme dan organisasi terorisme.
Apakah Kerajaan Arab Saudi dan Indonesia akan menggunakan momentum itu dan mencatat sejarah?
Editor : Sabar Subekti
AS Laporkan Kasus Flu Burung Parah Pertama pada Manusia
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Seorang pria di Louisiana, Amerika Serikat, menderita penyakit parah perta...