Melawan COVID-19: Solidaritas, Terkoneksi dan Setara
SATUHARAPAN.COM-Pandemi virus corona baru atau COVID-19 yang bermula dari kota Wuhan di China tengah, telah menebar ke lima benua. Ketika China menunjukkan tanda-tanda penurunan jumlah terinfeksi baru, penularan cepat justru muncul di Eropa, Amerika, Timur Tengah dan Australia, menyusul kekhawatiran besar akan menyebar di Afrika.
Penyakit yang mirip flu ini secara umum hanya menyebabkan gejala sakit ringan; sekitar 20 persen yang menunjukkan gejala sakit parah, dan sekitar tiga persen menjadi fatal. Namun ketakutan akan penyakit yang mudah menular dan menyebar dengan cepat secara global, berdampak besar dalam kehidupan sosial dan ekonomi.
Sampai hari Minggu (22/3) hampir 340.000 orang telah terinfeksi virus corona baru di seluruh dunia dan lebih dari 14.500 orang meninggal. Jumlah kematian terbesar di dua negara Italia dan China. Di Indonesia, penyakit ini ditemukan di 20 provinsi, terbanyak di Jakarta dengan total 514 kasus hingga hari Minggu (22/3), dan 48 pasien meninggal.
Semua Rentan
Fenomena yang patut dicatat pandemi ini adalah virus menginfeksi orang-orang yang berada di semua level, atas hingga bawah (secara sosial-politik dan ekonomi). Mereka yang terinfeksi adalah orang biasa hingga figur publik; atlet yang bugar hingga warga senior yang secara fisik rentan, pejabat yang diproteksi dengan aturan protokoler hingga warga biasa yang bergaul leluasa.
Virus juga menginfeksi mereka yang kaya, yang kesehatannya dijaga dengan ketat dan memiliki asuransi kesehatan yang lengkap hingga mereka kesehatannya bergantung pada “nasib”; mereka yang hidup dengan teknologi modern dan serba digital hingga mereka yang mungkin masih hidup di era 3.0 atau bahkan 2.0; mereka yang merupakan pemimpin keagamaan hingga warga biasa yang tidak rajin beribadah.
Dari sisi komunitas, mereka yang terinfeksi juga dari komunitas kota besar hingga kota kecil, bahkan masyarakat desa, yang juga ditandai oleh perbedaan fasilitas layanan kesehatan yang tersedia.
Negara dengan laporan terinfeksi dalam jumlah yang besar juga tidak pandang bulu, negara maju dan kaya, hingga negara berkembang, dan negara miskin. Virus menyerang negara yang memiliki militer kuat hingga negara yang dirundung pemberontakan dan perang saudara; negara yang memiliki anggaran tahunan besar dan terus tumbuh, hingga negara yang anggarannya nyaris defisit melulu; negara yang demokratis maupun negara yang diperintah secara otoriter.
Terkoneksi dan Setara
Perbedaan-perbedaan itu tampaknya tidak relevan bagi virus corona yang berbiak cepat; penyakit baru yang begitu muncul langsung mengguncang dunia. Ini adalah konsekuensi dari kenyataan umat manusia telah saling terkoneksi, dan mobilitasnya yang makin tinggi. Koneksitas menjadi jembatan bagi virus memasuki orang-orang.
Hal itu juga menandai bahwa penyakit ini tidak bisa dilawan melalui tindakan sendiri-sendiri oleh individu, komunitas, bahkan negara. Umat manusia yang begitu “terkoneksi” ini hanya akan bisa mengalahkan virus dengan kesadaran solidaritas dan peduli orang lain: menjaga diri sekaligus menjaga orang lain.
Mengingat mereka yang terinfeksi dari berbagai strata sosial-ekonomi, artinya di hadapan COVID-19, bahkan tidak ada yang bebas, ini menandai semua orang berada pada risiko yang sama. Pandemi ini bahkan mengingatkan akan kesetaraan umat manusia. Di hadapan virus ini, strata sosial orang-orang nyaris tidak relevan.
Menjaga Kemanusiaan
Melawan pandemi ini, berbagai negara memberlakukan aturan baru yang ketat, termasuk penutupan, larangan perjalanan, dan karantina, sembari mencatat dampak ekonomi yang makin berat. Tapi hal itu bisa sia-sia ketika kesadaran semua orang tentang koneksitas dan kesetaraan umat manusia gagal dibangun, karena kita perlu menghidup solidaritas sosial yang kuat untuk bersama menghadapi penderitaan akibat pandemi ini. Kita perlu kesetaraan untuk mematuhi ketentuan baru yang ketat itu.
Tanpa kesadaran ini, virus akan terus menyusupi kehidupan masyarakat; dampak ekonomi yang berat akan menjadi lebih berat. Ini terutama karena ada orang yang mengambil keuntungan sendiri dari tengah kesulitan bersama.
Maka kita prihatin ketika menyaksikan masker makin langka, harganya naik luar biasa. Disinfektan dan cairan untuk cuci tangan juga makin jauh untuk dijangkau rakyat biasa, bahkan kebutuhan hidup yang lain harganya juga dimainkan oleh pedagang.
Situasi pandemi COVID-19 ini menunjukkan tidak ada perbedaan bagi setiap manusia, semua rentan tanpa pandang bulu; tetapi di tengah kesulitan ini kita bisa membuat perbedaan dengan menjaga kemanusiaan kita terhadap sesama: terkoneksi (tetapi sementara tanpa kontak fisik untuk saling menjaga), setara, penuh solidaritas.
Editor : Sabar Subekti
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...