Memaknai Paskah di Tengah Pandemi COVID-19
SATUHARAPAN.COM-Ketika kita berbicara tentang pandemi virus corona baru yang dinamai COVID-19, kita berbicara tentang puluhan ribu orang yang telah meninggal karena penyakit yang ditimbulkannya. Dan juga entah berapa banyak yang berada di ambang kematian, bahkan sebuah studi menyebutkan di Inggris angka kematian akibat penyakit ini bisa mencapai 200.000.
Ketakutan terbesar pada virus ini adalah penularan yang gampang dan cepat, dan ancaman kematian. Terlebih lagi ada kenyataan bahwa belum ada obat, dan vaksi untuk mencegahnya masih dalam proses pengujuan, karena ini penyakit ditimbulkan oleh virus baru yang belum lama diketahui.
Topik pembicaraan dalam hampir empat bulan ini begitu didominasi oleh isu virus corona, dan itu terutama bicara tentang ancaman kematian. Dan dalam situasi seperti ini, ketika kita dekat dengan masalah kematian, lalu kita melihat betapa berartinya kehidupan.
Aksi Puasa di Tengah Pandemi
Bagi umat Kristen di seluruh dunia, sejak enam pekan lalu ketika ibadah pra paskah dimulai, kita merenungkan dan berefleksi tentang kematian, yang puncaknya pada mengingat kematian Mesias di kayu salib pada Jumat Agung mendatang, Jumat (10/4).
Ibadah Rabu Abu, dan kemudian tujuh pekan pra Paskah menandai kesadaran akan kefanaan manusia, sekaligus begitu berharganya kehidupan, sehingga Sang Mesiah menebusnya dengan kematian di kayu salib.
Apakah hal kebetulan bahwa suasana Paskah ini bersamaan dengan munculnya pandemi COVID-19? Suasana ini, di mana kita merenungkan tentang ancaman kematian (karena virus, penyakit, dan dalam iman oleh dosa) dan juga melihat begitu berharganya kehidupan, terutama ketika kita menjalankan aksi puasa Paskah dalam beberapa pekan ini.
Pembatasan-pembatasan telah diminta oleh pemerintah kepada warga negara untuk mencegah penularan virus dengan penutupan, pengurangan perjalanan, dan jarak sosial (social distancing). Di sisi lain, warga didorong untuk membangun solidaritas terhadap sesama. Yang terinfeksi, terpapar orang yang terinfeksi, dan yang diduga terinfeksi untuk menahan diri dengan karantida sendiri. Mereka yang sehat didorong untuk membangun gaya hidup sehat.
Kebutuhan sehari-hari menjadi sulit diperoleh karena banyak pengurangan dalam produksi dan distribusi. Untuk mengatasi dampak sampingan pandemi ini, orang-orang didorong untuk mengembangkan solidaritas sosial dengan tidak menimbun barang dan menaikkan harga secara tidak rasional, bahkan untuk membantu mereka yang kesulitan.
Aksi puasa dalam beberapa pekan ini akan sangat penting untuk diwujudkan sebagai cara memaknai Paskah di tengah pandemi global yang pengaruhnya melampaui masalah kesehatan, terutama bidang sosial dan ekonomi.
Harapan pada Pemulihan
Merayakan Paskan pada situasi ini menuntut untuk diwujudkan dengan menjadi warga negara yang menaati aturan-aturan pembatasan, menjaga diri dengan menjaga orang lain untuk tidak tertular virus corona baru, dan membangun solidaritas sosial, khususnya bagi mereka yang paling rentan yang terdampak oleh pandemi.
Seperti kematian Yesus sebagai Mesias di kayu salib yang menanadai momen paling penting di mana Sang Pencipta melihat begitu berharganya kehidupan manusia, Paskah tahun ini layak dirayakan dengan “puasa” dan melihat begitu berharganya kehidupan, siapapun mereka.
Dan pada hari Minggu (12/4) ketika umat Kristen seluruh dunia juga merayakan kebangkitan Kristus, seperti pesan yang dikeluarkan oleh Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), maka kita pun akan melihat kebangkitan dan harapan. Dan dalam situasi yang aktual adalah menuju pembebasan dari penyakit akibat COVID-19, dan lahirnya harapan dan kebangkitan untuk pemulihan kesehatan, pemulihan ekonomi, dan pemulihan relasi sosial yang sehat.
Selamat untuk umat Kristen yang merayakan Paskah.
Editor : Sabar Subekti
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...