Membakar Buku
Karya dibalas dengan karya.
SATUHARAPAN.COM – Hari-hari ini republik sedang diramaikan dengan kekhawatiran aparat militer akan bangkitnya kembali ideologi komunis. Tentara dan Polisi berebut peran merazia berbagai atribut, pernak-pernik, hingga buku-buku berbau aliran kiri. Militer kita sibuk mengangkat senjata untuk perang yang mereka ciptakan sendiri. Publik yang jauh dari, dan tidak paham terkait berbagai kisah komunis di Indonesia, ditakut-takuti tentang kisah ideologi yang lahir dari rahim kapitalisme.
Penyitaan buku menurut pemerintah dianggap solusi efektif untuk meredam pergerakan kaum kiri. Mereka meniru praktik para kaum Islam dahulu kala ketika ingin memberangus kebudayaan Hindu/Buddha yang tersaji dalam serat Gatholoco. Memberangus buku dianggap paling efektif.
Rezim Soeharto juga memilih cara serupa ketika ingin meredam popularitas komunis melalui buku yang berisi tentang tokoh kaum kiri. Misalnya, buku tentang Amir Sjarifuddin yang ditulis Frederick Djara Wellem. Bahkan buku karya Pram hanya beredar dalan ruang-ruang sempit saat itu.
Media buku memang punya caranya sendiri dalam menebarkan gagasan. Pembaca memang dapat secara bebas mengartikan gagasan yang dilontarkan para penulis. Ada banyak kisah pembunuhan juga terinspirasi dari buku bacaan.
Namun, membakar buku berarti melawan peradaban. Jika peradaban mau berkembang, semestinya orang membuat buku untuk melawan buku yang dianggapnya menyesatkan. Buku dibalas dengan buku. Karya dibalas dengan karya.
Email: inspirasi@satuharapan.com
Editor : Yoel M Indrasmoro
Risiko 4F dan Gejala Batu Kantung Empedu
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Dokter spesialis bedah subspesialis bedah digestif konsultan RSCM dr. Arn...