Membangun Persaudaraan
AMBON, SATUHARAPAN.COM – Ini kisah unik dari Maluku, ketika Mama-Mama Jemaat GPM Tuhaha Mengunjungi Mama-Mama Negeri Rohomoni. Pdt. Ann Tupamahu, seorang pendeta jemaat GPM Tuhaha, menuturkannya dan ditulis ulang oleh Pdt. Jacky Manuputty. Ia juga mengijinkan satuharapan memuat lengkap tulisannya. Begini kisahnya:
Betapa terkejutnya kami, tutur Pdt. Ann Tupamahu memulai, ketika “arumbae” (perahu kayu besar) yang kami tumpangi perlahan merapat di dermaga Negeri Rohomoni. Awalnya kami berpikir bahwa kami akan disambut hanya oleh ibu-ibu Negeri Rohomoni. Nyatanya kami melihat bahwa para tetua adat dan masyarakat Rohomoni tumpah ruah di dermaga untuk menyambut kami.
Kedatangan kami ke Rohomoni adalah bagian dari program wadah perempuan Gereja Protestan Maluku (GPM) Jemaat Tuhaha. Dalam perencanaan strategis di jemaat kami, hubungan lintas-agama diangkat sebagai salah satu isu strategis yang harus dikelola selama lima tahun ke depan. Untuk menerjemahkan strategi pengelolaan isu ini, kami merencanakan kunjungan wisata budaya ke Negeri Rohomoni. Pilihan kunjungan ke Rohomoni mengingat Negeri Rohomoni dan Negeri Tuhaha terikat dalam pakta hubungan ‘Pela Darah’ yang secara adat sangat keras ikatannya.
Seharusnya program ini berlangsung tahun 2016 lalu. Namun karena berbagai kesibukan di Rohomoni maka pelaksanaan program ini tertunda sampai tahun 2017. Untuk merealisasikan maksud kunjungan ini, beta lebih dahulu mengunjungi Rohomoni dan berbicara dengan kelompok ibu-ibu di sana. Kami mengatur rencana kegiatan bersama, kemudian mengunjungi tokoh-tokoh adat serta penjabat Kepala Desa (Raja) Negeri Rohomoni yang bermarga Sangaji. Kepadanya beta meminta tolong supaya program kunjungan ini bisa dilakukan.
Mendengar penjelasan beta, penjabat Kepala Desa segera menyatakan kesanggupannya. Kami lalu mengatur waktu kunjungan yang direncanakan berlangsung selama tiga hari, sejak 21-23 Mei 2017.
Setibanya kami di dermaga, warga masyarakat Rohomoni segera mengantarkan kami dalam iring-iringan yang didahului oleh tarian Sawat, sebuah tarian penyambutan yang sangat khas pada negeri-negeri Muslim di Maluku. Arak-arakan kami bergerak menuju ‘Sabua,’ sebuah rumah pertemuan yang telah dibangun untuk maksud kegiatan kami.
Segera setelah beberapa pidato penyambutan disampaikan, peserta kegiatan dari Tuhaha yang berjumlah lebih dari 100 orang ‘direbut’ oleh warga masyarakat Rohomoni. Setiap orang dengan cepat memilih satu atau lebih peserta untuk menginap di rumah mereka. Kami tak dapat menentukan akan menginap di mana.
Antuasiasme sambutan seperti ini berakar kuat pada pandangan warga Rohomoni yang melihat warga Tuhaha sebagai saudara mereka yang harus dilayani dengan sungguh-sungguh. Setiap ketidakpatutan yang mungkin timbul, dianggap akan mencederai sumpah dan janji adat dalam ikatan persekutuan Pela yang telah diikat oleh para leluhur di masa lampau.
Pagi itu setelah kami meletakan barang di rumah masing-masing keluarga, kami segera berarak menuju “Gunung Alaka.” Ini sebuah situs adat di perbukitan yang dianggap sakral, tidak saja bagi masyarakat Rohomoni, tetapi juga bagi empat negeri adat lainnya di Pulau Haruku yang terikat dalam rumpun “Hatuhaha.” Situs ini dipercaya sebagai “negeri tua” dari rumpun negeri-negeri Hatuhaha, sebelum mereka menyebar ke pesisir akibat perang melawan penjajah Portugis di masa lalu. Peperangan di Alaka itulah yang menjadi cikal bakal terbentuknya hubungan “Pela Darah” Negeri Rohomoni dan Negeri Tuhaha.
Alkisah di masa lalu, negeri Rohomoni terdesak oleh gempuran Portugis. Menghadapi situasi itu, mereka mengundang raja-raja dari pulau lainnya untuk datang membantu mereka. Raja negeri Tuhaha di Pulau Saparua kemudian datang dan bergabung dalam peperangan itu untuk membantu Rohomoni. Ketika mereka memenangkan peperangan itu, dideklarasikanlah pakta ‘Pela Darah’ antara Tuhaha dan Rohomoni.
Relasi Pela diantara mereka dilengkapi dengan sejumlah ketentuan yang sangat keras untuk hidup saling tolong menolong sebagai saudara sepanjang masa. Karenanya, menurut Penjabat Kepala Desa Rohomoni (sebagaimana dituturkannya kepada Ketua Klasis GPM Lease, Pdt Caq Sapulette), ia tak sanggup menolak ketika ibu pendeta dari Jemaat GPM Tuhaha menyampaikan permintaan “tolong” kepadanya untuk mendukung acara ini. Pantang menolak ketika saudara meminta pertolongan, apalagi ibu mertua dari pendeta itu bermarga Aipassa yang berasal dari Tuhaha. Ia merasa ada keharusan adat untuk segera mempersiapkan masyarakat Rohomoni mensukseskan acara ini. Kegiatan negeri Rohomoni untuk membersihkan ‘keramat’ menjelang bulan suci Ramadhan ditunda selama beberapa hari hingga kegiatan kunjungan ini berakhir.
Dalam perjalananan menuju Alaka, cuaca sejuk dan teduh mengiringi kami. Masyarakat Rohomoni menafsirkannya sebagai restu dari Allah, alam, dan para leluhur, mengingat sebelum kami datang hujan turun tak henti. Dalam relasi-relasi adat seperti ini, tanda-tanda alam selalu ditafsir sebagai dukungan ataupun penolakan. Kerukunan antar saudara, secara holistik, dimaknai melekat pada relasi harmoni dengan alam. Karenanya dalam perjalanan menuju Alaka, lengan kami digandeng ibu-ibu Rohomoni.
Beberapa ibu meminjamkan kain dan kebaya mereka untuk dikenakan oleh ibu-ibu negeri Tuhaha yang tak membawa kebaya. Di Rohomoni, sekalipun tidak berkerudung, semua perempuan mengenakan kain dan kebaya dalam aktivitas kesehariannya. Begitu pula para lelaki yang tak pernah melepaskan tutup kepala bercorak Islam dari kepala mereka.
Di Alaka kami mengunjungi “keramat” warga rumpun Hatuhaha, maupun secara khusus mendatangi keramat-keramat negeri Rohomoni. Keramat adalah pemakaman para leluhur dari setiap klan keluarga. Setiap keramat dirawat secara berkala melalui ritual-ritual khusus, karena ia merupakan symbol identitas, persekutuan keluarga, serta sejarah di negeri Rohomoni. Orang-orang yang tidak memiliki relasi historis, adat ataupun keluarga dengan negeri Rohomoni terlarang mengunjungi Alaka.
Di wilayah Alaka kami diantar juga untuk mengunjungi situs pekuburan warga Tuhaha yang meninggal dalam pertempuran bersama warga Rohomoni dan Hatuhaha melawan penjajah. Banyak diantara ibu-ibu Tuhaha yang datang bersama kami ternyata belum pernah menginjakkan kakinya di Alaka.
Pada situs keramat itu, nisan-nisan tua tergeletak beraturan sebagai penanda bahwa ikatan persaudaraan pernah ditetapkan dengan sumpah para leluhur di masa lalu. Ikatan persaudaraan ini melampaui perbedaan agama, sekaligus mengisyaratkan dengan tegas bahwa perbedaan agama tak harus menjadi penghalang untuk relasi anak cucu Tuhaha dan Rohomoni di masa mendatang.
Malam itu, setelah kami mengunjungi Alaka, kegiatan dilanjutkan dengan acara diskusi antara ibu-ibu negeri Tuhaha dan Rohomoni. Tema diskusi kami seputar peran perempuan untuk keluarga dan masyarakat, serta kisah-kisah tentang hubungan Pela di masa lalu.
Keesokan paginya, aktivitas kami dimulai dengan jalan santai bersama menuju Negeri Kailolo, setelah kami berpose sejenak di depan masjid tua rumpun Hatuhaha yang terletak di Rohomoni. Kailolo adalah satu negeri Muslim yang terikat dalam rumpun persaudaraan lima negeri Hatuhaha. Mengunjungi Negeri Rohomoni secara tidak langsung juga melibatkan secara adat negeri-negeri Hatuhaha lainnya.
Sekembalinya kami dari Kailolo, kegiatan dilanjutkan dengan kerja bakti bersama membersihkan Negeri Rohomoni, serta mempersiapkan kegiatan panel diskusi ibu-ibu pada malamnya. Menariknya saat kami sedang membersihkan halaman dengan menggunakan sapu, beberapa pria Rohomoni mendatangi perempuan-perempuan Tuhaha sambil berucap, “Lia ibu-ibu Tuhaha pegang manyapu, katong pung dada rasa panas” (melihat ibu-ibu dari Tuhaha memegang sapu, dada kami terasa panas/malu). Mendengarnya, beberapa ibu menjawab, “Seng apapa , ini su jadi katong pung program bersama deng ibu-ibu di sini” (tidak mengapa, ini sudah menjadi program bersama kami dengan ibu-ibu Rohomoni).
Selepas maghrib, acara panel diskusi dimulai. Panelis yang datang adalah ibu Maryam Sangaji, seorang ekonom dari Universitas Pattimura di Ambon, yang adalah juga anak adat Negeri Rohomoni. Selain ibu Maryam, datang pula ibu pendeta Ny. Lenny Talakua dari Sinode GPM. Panel diskusi diselenggarakan untuk membicarakan peningkatan hubungan persaudaraan perempuan Tuhaha dan Rohomoni melalui pengembangan ekonomi maupun kesetaraan jender. Menurut tuturan ibu pendeta Lenny Talakua, kegiatan panel diskusi dihadiri oleh lebih kurang 150 orang perempuan Tuhaha dan Rohomoni. Diskusi interaktif itu berlangsung semarak dan berujung pada kesepakatan kunjungan balasan perempuan Rohomoni ke negeri Tuhaha.
Selepas kegiatan panel diskusi kegiatan kami lanjutkan dengan acara malam budaya. Acara ini melibatkan masyarakat secara luas, bahkan saudara-saudara dari Negeri Kabauw, tetangga Rohomoni, turut berpartisipasi dengan mengirim tim kesenian mereka. Kegiatan berlangsung hingga larut malam. Semua kami menyatu dalam keriangan yang tulus antar sesama saudara Pela. Di ujung kegiatan, kami dihadiahkan sebuah lukisan kerang bergambar Al-Qur’an. Sebaliknya kami juga menghadiahkan sebuah lukisan kerang bergambar Alkitab sebagai wujud toleransi dan persaudaraan.
Keesokan paginya kami bersiap-siap untuk kembali ke negeri Tuhaha. Di dermaga Rohomoni Arumbae kami telah datang menjemput. Setelah sarapan pagi segera kami berkemas dan membawa barang-barang kami ke dermaga. Melihat hal itu, warga Rohomoni menahan kami. Mereka tak mengijinkan kami kembali dengan menumpangi arumbae milik kami. Oleh mereka, arumbae itu dipersilakan membawa barang-barang kami terlebih dahulu ke Negeri Tuhaha. Kami diminta tinggal karena warga Rohomoni akan mengantarkan kami dengan menggunakan angkutan laut milik mereka.
Seketika, beberapa angkutan laut Negeri Rohomoni merapat di dermaga. Embarkasi segera dilakukan dengan bantuan saudara-saudara Negeri Rohomoni. Ibu-ibu berpelukan haru di atas dermaga lalu saling melepas. Bersama kami dua speed boat Rohomoni, yang ditumpangi lebih kurang 60 warga Rohomoni, beriringan mendampingi kami menuju Negeri Tuhaha.
Setibanya disana mereka mengantar kami sampai di gedung gereja Jemaat GPM Tuhaha. Bersama-sama mereka masuk ke dalamnya dan menunggu kami selesai mengucap syukur, lalu menuju “tiang Rohomoni” yang tegak menunjang bangunan gereja itu.
Tiang Rohomoni adalah sebuah pilar kayu besar bertuliskan “Tiang Rohomoni” yang terletak di bagian dalam gedung gereja itu. Ia berfungsi sebagai salah satu pilar penyanggah plafon dan atap gedung gereja. Tiang ini dibawa sebagai sumbangan Negeri Rohomoni pada saat pembangunan gedung gereja Jemaat GPM Tuhaha. Tiang ini memperteguh sumpah pesaudaraan, tidak saja pada ranah adat tetapi juga mengokohkannya pada wilayah agama.
Besok Lebaran segera tiba. Ibu-ibu dari Tuhaha telah diundang untuk mengunjungi saudara-saudaranya di Rohomoni saat Lebaran. Dengan antusias mereka akan melayari lagi celah laut antara Pulau Saparua dan Pulau Haruku. Di sana mereka akan menjumpai, menyalami dan memeluk saudara-saudara mereka yang sedang merayakan Lebaran.
Selamat Lebaran Basudara Pela, Katong Samua Orang Sodara!
Editor : Trisno S Sutanto
AS Laporkan Kasus Flu Burung Parah Pertama pada Manusia
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Seorang pria di Louisiana, Amerika Serikat, menderita penyakit parah perta...