Membangun Toleransi: Tantangan Presiden Mendatang
SATUHARAPAN.COM – Lagi-lagi peristiwa itu terjadi. Sekelompok massa intoleran, tanpa asal-usul maupun alasan jelas, menyerbu dan membubarkan ibu-ibu yang sedang berdoa rosario di rumah Yulius, Direktur Penerbit Galang Press, Kamis (29/05) lalu.
Dan bukan hanya itu. Selain mengobrak-abrik rumah di kawasan Losari, Ngaglik, Sleman itu, kelompok massa juga menganiaya Julius Felicianus dan beberapa ibu dengan pentungan besi maupun kayu. Sebagian korban harus dilarikan ke rumah sakit. Julius sendiri menderita cukup parah sehingga harus dirawat di RS Panti Rapih.
Dengan cepat, berita itu tersebar dan menjadi trend di media sosial. Apalagi, kabarnya, Julius itu relawan Jokowi dan tokoh yang mempertemukan capres PDIP itu dengan Ngarso Dalem Sri Sultan. Reaksi yang muncul hampir seperti pengulangan dari reaksi-reaksi sebelumnya: tidak paham (“kok Yogya bisa gitu?”), marah, prihatin, atau paling banter mengutuk keras. Sebagian langsung menuding kelompok preman berjubah yang sudah sering melakukan tindak kekerasan, dan kini merapat ke salah satu kubu calon presiden. Sebagian lain memuji tindakan cepat GKR Hemas yang, bersama sanak saudara keraton Ngayogyakarta, langsung mengunjungi korban.
Yang jelas, tindak kekerasan itu makin mencoreng citra Yogyakarta sebagai The City of Tolerance. Dan ini bukan tindak kekerasan pertama di kota gudeg itu. Sudah berulang kali terjadi, dalam skala kecil maupun besar, tindakan sekelompok massa intoleran menghancurkan mitos tentang toleransi yang jadi ikon kota itu. Masih ingat pembubaran paksa diskusi Irshad Manji? Masih ingat penggalangan massa untuk menyerbu komunitas Syiah? Masih ingat pelarangan ibadah Paskah di wilayah Gunung Kidul, termasuk tindak kekerasan terhadap salah seorang penggiat antar-iman di wilayah itu?
Repetisi Bebal
Jika dicermati, ada pola reaksi yang hampir selalu muncul dalam kasus-kasus seperti itu. Suatu pola yang, menurut saya, makin memperlihatkan gaya “repetisi bebal”, yakni sekadar mengulang-ulang tanpa dilandasi oleh perenungan. Pertama, reaksi spontan yang berisi kecaman, kemarahan, atau bahkan kutukan terhadap tindak kekerasan. Biasanya reaksi ini muncul di media sosial, tempat orang bisa menumpahkan segala macam unek-uneknya sendiri, lalu merasa lega. Tokoh-tokoh agama juga cenderung punya reaksi yang sama.
Pola reaksi kedua adalah kebalikannya: semacam “mitologisasi” tentang “nilai-nilai kerukunan” dan “toleransi” masyarakat yang, katanya, sudah dari sononya dihidupi oleh masyarakat majemuk dan Pancasilais ini. Biasanya, pola ini ditandai oleh argumen bahwa pelaku tindak kekerasan bukan orang atau kelompok dari wilayah itu, atau pelakunya kurang memahami ajaran agama, atau – kalau mau lebih konspiratif – pelakunya adalah jaringan dari kepentingan politik tertentu. Bisa juga, pelakunya termasuk jaringan “transnasional”.
Inti dari pola reaksi kedua ini sama saja: masyarakat di mana tindak kekerasan itu terjadi selama ini hidup rukun, harmonis, toleran, dstnya. Para pelaku tindakan kekerasan bukan dari masyarakat tersebut, yakni “orang luar” atau “kelompok luar” yang ingin mengacaukan kehidupan serba-rukun, harmonis, dan toleran tersebut. Karena itu, walau sudah banyak tindak kekerasan terjadi, Yogyakarta adalah tetap The City of Tolerance!
Nah, yang menarik dari dua pola reaksi itu, adalah mencermati pola reaksi ketiga: aparat keamanan atau pihak berwajib yang tidak pernah mengusut kasus-kasus intoleransi secara tuntas. Hampir semua kasus yang disebut di atas – terlalu banyak untuk disebutkan semua – tidak pernah diusut tuntas dan pelaku tindak kekerasan selalu berhasil luput dari jeratan hukum, atau malah tidak pernah dijerat hukum sama sekali. Ini punya konsekuensi sangat jauh.
Membangun Toleransi?
Kasus tindak kekerasan yang terjadi di Yogyakarta itu hanyalah satu keping dari rangkaian tindakan intoleran serupa yang sudah berlangsung hampir di seluruh pelosok tanah. Sudah banyak kekhawatiran diserukan perihal masalah ini. Namun yang jelas, persoalan tindak kekerasan dan intoleransi tidak dapat diselesaikan lewat gaya “repetisi bebal” itu.
Masalah intoleransi, apalagi jika sudah berujung pada tindakan kekerasan terhadap kelompok lain, tidak akan sirna dengan jutaan kecaman atau kutukan di Twitter maupun Facebook. Juga tidak akan berguna untuk selalu mengulangi bahwa kesalahan ada di “pihak luar”, bahwa “masyarakat kami ini dari sononya toleran kok”, dstnya. Apalagi jika, di tengah itu semua, pihak yang berwajib justru meninggalkan kewajibannya!
Membangun toleransi merupakan kerja panjang yang mencakup banyak ranah. Setidaknya, menurut saya, tiga ranah ini perlu ditata ulang. Pertama, ranah hukum. Ini menyangkut undang-undang dan peraturan lain yang dapat memberi jaminan konkret sehingga menyuburkan sikap toleran, sekaligus menghukum perilaku intoleran.
Persis pada ranah ini, khususnya jika menyangkut “toleransi keagamaan”, tidak ada undang-undang maupun peraturan yang menjamin kebebasan beragama/berkeyakinan. Jaminan yang ada hanyalah pada tataran normatif-konstitusional, baik itu dalam amandemen UUD 1945 maupun ratifikasi kovenan HAM internasional (ICCPR lewat UU No 12/2005). Padahal, toleransi keagamaan akan selalu bertaut erat dengan kebebasan beragama/berkeyakinan. Tanpa adanya jaminan kebebasan beragama/berkeyakinan yang konkret, maka yang terjadi adalah pemaksaan mayoritas terhadap minoritas, dan toleransi hanya jadi penghias bibir saja.
Ranah kedua menyangkut kemauan politik dan kesiapan aparat keamanan untuk menegakkan hukum yang berlaku. Sudah jelas, betapapun bagusnya suatu rumusan hukum atau peraturan, jika tidak ada kemauan maupun kesiapan aparat untuk menegakkannya, maka rumusan itu pun hanya jadi gincu.
Studi menarik yang dilakukan Denny JA (Menjadi Indonesia Tanpa Diskriminasi: Data, Teori dan Solusi, 2014) makin mempertegas itu. Dengan memakai data yang sangat kaya, yang mencakup pengalaman dari berbagai negara, Denny melakukan uji statistik faktor-faktor apa yang menentukan toleransi masyarakat, baik itu toleransi dalam hal etnis, agama, maupun orientasi seksual. Setidaknya, menurut temuan Denny, ada lima variabel yang berpengaruh, yakni pendidikan, pengetahuan warga, akses informasi, penegakan toleransi dan nilai demokrasi. Dua variabel terakhir saling berkelindan erat: semakin warga yakin bahwa demokrasi merupakan cara pengelolaan perbedaan terbaik dan semakin warga yakin negara akan menegakkan aturan-aturan hukum untuk menjaga toleransi, maka warga pun akan semakin toleran.
Dan, akhirnya, ranah ketiga adalah pendidikan nilai-nilai toleransi dalam masyarakat. Jika dua ranah pertama lebih merupakan tugas dan kewajiban negara dengan seluruh aparatnya, maka ranah terakhir ini merupakan wilayah garapan kelompok-kelompok masyarakat sipil. Saya menengarai, selama ini justru kelompok-kelompok masyarakat sipil ini – saya menyebutnya sebagai “kecambah pluralisme” – yang selama ini telah bekerja keras, sehingga Indonesia masih tetap bertahan di tengah gejolak sosial pasca jatuhnya Soeharto pada Mei 1998.
Jika dilihat dari ketiga ranah di atas, maka menjadi jelas bahwa kemauan politik dan sikap tegas pemimpin merupakan kunci utama bagaimana membangun toleransi. Dua periode rezim pemerintahan SBY meninggalkan warisan sangat buruk dalam soal ketegasan itu. Semoga presiden terpilih yang baru akan bisa memberi contoh yang dibutuhkan.
Sebab pertaruhannya sangat jelas: Indonesia sebagai rumah bersama bagi semua kelompok.
Penulis adalah Koordinator Penelitian Biro Litkom-PGI, Jakarta.
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...