Menyambut SR XVI PGI: Garam yang (Sepatutnya) Asin
SATUHARAPAN.COM - “Yang membuat saya sedih, ada banyak murid SMP yang belum lancar membaca. Bahkan, ada juga yang belum menguasai abjad dari ‘a’ sampai dengan ‘z’.” Demikian penggalan pesan yang saya terima, bukan di tahun ‘80an, tapi di penghujung April 2014.
Pesan itu juga tidak dikirim dari pedalaman atau daerah tertinggal, melainkan dari sebuah tempat yang bila ditempuh dengan jalan darat dari Jakarta, memakan waktu kurang dari 24 jam. Kondisi kelam di atas membuat saya berusaha mencari penghiburan dengan apa yang telah dilakukan gereja-gereja di Indonesia dalam bidang pendidikan. Masa sih gereja tidak mengasinkan sekelilingnya?
Ketika media menjadi heboh dengan hiruk pikuk “narocob NU” (baca dari belakang: “Bocoran UN” – kode untuk membeli), surat keluhan Nurmillati Abadiah, seorang anak SMA di Surabaya, dan kepongahan menteri dalam membela diri, kita memang tidak mendapati pemberitaan media bahwa murid, guru, kepala sekolah, pengawas, kepala dinas ataupun Bupati Kristen terlibat dalam persekongkolan itu. Sebaliknya, pokok doa syafaat di Gereja bertambah dengan ‘beri kekuatan pada anak-anak dalam menghadapi UN”, sekolah-sekolah Kristen adem ayem penuh ketaatan, guru dan kepala sekolah ketat menjaga murid-muridnya.
Kita bangga bahwa nilai UN murid-murid di banyak sekolah Kristen sangat memuaskan. Kita semua adem ayem dan percaya bahwa pemerintah sah-sah saja menjalankan UN sebagai tugasnya. Ketika petisi tolak UN menembus lebih dari 16.000, ditanda-tangani oleh para professor dan tokoh masyarakat yang berintegritas, Gereja merasa tidak perlu ikut bicara. Itu perkara kecil. Bukan di sana kita harus menggarami. Dalam perkara UN, rupanya kita boleh saja menjadi tidak asin.
Selama hampir dua tahun ini dunia pendidikan kita juga disibukan dengan kurikulum 2013. Sudah banyak ulasan yang ditulis yang mengemukakan fakta-fakta kasat mata kerapuhan produk instan itu. Sempat juga kita menyatakan posisi – posisi “bijak”, yang kemudian di tataran operasional, diartikan sebagai bersedia ditunjuk untuk menerapkan dan mendukung pemerintah. Tentunya, kebijakan ini diperkuat dengan keyakinan “there is a different battle to win”.
Bukankah kita perlu memperkecil konflik? Bukankah gereja sudah terlalu banyak memiliki masalah dengan penguasa? Kalau kita keras bersuara, bukankah ijin gereja akan dipersulit, guru-guru kita tidak akan di-PNS-kan, akreditasi sekolah akan jadi molor, kita akan kekurangan murid, dan bila demikian, kesempatan membawa kabar baik menjadi lebih sulit? Mungkin kebijakan ini diambil dengan pemikiran kadang kita harus asin, dan kadang, kita juga sah-sah saja tidak asin.
Kita patut bersyukur bahwa semua lembaga pendidikan, termasuk Kristen, mempunyai visi dan misi yang mulia. Gereja membuka dan mendukung yayasan pendidikan Kristen sebagai bagian pelayanan dan pembawa berita Kabar Baik. Ternyata, tidak mudah bermimpi mulia ketika yang menjalankannya dengan mulia semakin langka. Sama seperti bidang lainnya, dunia pendidikanpun kemudian tidak luput dari sikut menyikut. Baru saja sekolah memasuki tahun ajaran baru, strategi pemasaran untuk mencari muridpun mulai dijalankan.
Anda mau diskon? Mencari beasiswa? Mau paket hemat? “Buy one get one”? Mari, sekolah saya menyediakan semua. Ada plusnya lagi! Plus iman Kristen! Untuk para guru dan kepala sekolah, ada tunjangan cicilan ziarah ke Israel! Gerejapun mendukung dengan pemasangan spanduk dan iklan di warta. Tunggu! Bila ada pemanis buatan, apakah kita sedang jadi pengasin buatan?
Sebuah lembaga pendidikan yang ditunjang fasilitas mewah, tidak dapat dikatakan sebagai sebuah sekolah ketika tidak ada muridnya. Dan muridpun tidak akan dikatakan bersekolah, ketika di sekolah tidak ada guru yang mendampinginya.
Secara teori, seseorang tidak dapat serta merta menjadi guru. Sama seperti para pengerja gereja yang perlu mendapatkan pendidikan teologi dan pastoral untuk dapat menjadi gembala yang baik, seorang guru dan kepala sekolah perlu mendapatkan pendidikan pedagogi dan yang terkait untuk dapat mendampingi domba-dombanya.
Gereja sangat menyadari perlunya sekolah-sekolah teologi yang membentuk pengasinan pengerjanya sehingga dapat mengasini jemaat dan menghasilkan gereja yang asin. Gereja sangat sadar begitu sulitnya mendapatkan pengerja. Di lain pihak, jarang sekali gereja melihat sulitnya mendapatkan jumlah guru Kristen sebagai sesuatu yang mendesak dan perlu dimasukkan dalam misi ataupun KKR panggilan.
Sudah saatnya (bila kata terlambat tidak patut digunakan) gereja memikirkan dan mendirikan lembaga-lembaga yang menghasilkan guru-guru Kristen, membuat kegiatan-kegiatan yang memanggil jemaat untuk menekuni pendidikan, mengalokasikan dana misi untuk memperbaiki kualitas pendidik Kristen. Bukankah gereja harus memastikan tersedianya jumlah garam yang dapat mengasinkan? Sidang Raya XVI PGI November nanti semoga memberi tempat bagi tantangan ini.
Ibu Siami, Abrar dan Nurmillati mungkin tidak mengenal kita karena mereka terbiasa menggunakan garam keluaran Khotbah di Bukit. Masa kita masih megap-megap berkutat menyiapkan sidang raya untuk menyatukan persepsi apa itu garam!
Penulis adalah praktisi pendidikan
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...