Politik Gerakan Oikoumene Indonesia
SATUHARAPAN.COM - Di setiap bulan Mei, umat Kristen Indonesia merayakan bulan oikoumene; mengucap syukur karena pada 25 Mei 1950 lalu terjadi kesepakatan lintas-gereja untuk mewujudkan keesaan gereja-gereja di Indonesia. Dengan demikian oikoumene berarti diletakkannya platform persatuan gereja, dan kala itu terjadi selain karena Injil menuntut hal itu tapi juga karena nasionalisme dan proses global umat kristiani mendorong adanya wujud nyata kehadiran orang Kristen.
Maka gerakan oikoumene juga bercorak praktis; kehadiran umat yang satu dibayangkan mendatangkan perubahan masyarakat. Dalam pada itu kesibukan gerakan ini, selain soal-soal pendasaran teologis akan kesatuan gereja, akan selalu terkait dengan masalah-masalah sosial (diberi label ‘diakonia’) dan masalah-masalah lintas-agama (diberi label ‘kesaksian’). Jadi, gerakan oikoumene Indonesia bermatra dua: meletakkan platform bersama kesatuan umat Kristen, dan mengarahkan karya transformatifnya di tengah masyarakat. Dengan kata lain gerakan oikoumene itu selalu punya arah politisnya.
Untuk perayaan kali ini, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia/PGI (lembaga yang mewadahi gerakan oikoumene itu) bicara mengenai perlunya “syalom” di tengah demokrasi bangsa Indonesia. Secara teologis ini berarti kasih dan damai kiranya mewarnai perhelatan demokrasi menyambut pemerintahan baru nanti. Ada nasihat agar tidak perlu friksi-friksi antar kelompok, namum kiranya sikap etis dan etos kebhinekaan yang menjadi cara berpolitik. Dengan kata lain ada nasihat substantif, tapi juga dorongan agar cara atau prosedural etislah yang dipakai dalam proses peralihan kekuasaan di negeri ini.
Mencari Yang Politik
Di luar nasihat etis tadi, yaitu dalam hal menetapkan modus keterlibatan politik umat Kristen Indonesia, tampaknya yang ada ialah kegamangan. Ketiadaan partai politik Kristen mungkin salah satu faktor penyebabnya, walau perlu dicatat munculnya sejumlah partai Kristen pasca 1998 lalu tak juga mengurangi kegamangan tersebut. Di pihak lain, cara kerja serba menghimbau atau membangun wacana publik –yang umumnya menjadi kesibukan PGI-, secara politis hanyalah akan berdampak tidak langsung. Kita tahu dari para ahli ilmu sosial, ada jarak yang cukup jauh antara “diskursus”, “agensi” dan struktur politik, apalagi perubahannya.
Memang perlu disyukuri politik identitas menjauh dari umat Kristen Indonesia. Dari teman-teman Kristen di Papua saya mendengar nada rileks ketika ada isu pencanangan “Manokwari kota Injil”. Tampaknya, dalam istilah orang Papua, hal itu dibuat karena “mau bikin mop saja, sebab di ujung Barat Indonesia ada Propinsi Syariat”. Maka apakah memang yang terutama bukan “politik kehadiran identitas” (politics of presence) yang hendak diretas gerakan oikoumene dan umat Kristen Indonesia, tetapi lebih sebagai “politik pengaruh” (politics of ideas)?
Tapi lantas, dimanakah pengaruh itu kini menjadi politis dan lalu mendorong perubahan nyata?
Maka saya justru ingin menegaskan bahwa gerakan oikoumene terjadi dan berdampak politis justru dalam komunitas-komunitas lokal. Di situlah secara ajeg kehadiran inklusif dan pengaruh kekristenan bermakna nyata. Hal itu dicatat dalam studi Myengkyo Seo tentang Gereja Kristen Jawa (dalam karyanya State Management of Religion in Indonesia, London:2013).
Menurut Seo, pertanyaan penting terkait politik gerejawi saat ini ialah apakah yang dapat dipengaruhi oleh umat Kristen pasca 1998, ketika hubungan antaragama diwarnai konflik keras, dan perasaan minoritas telah membuat gereja semakin terpojok dalam kerja mati-matiannya menjaga gedung gerejanya?
Myengkyo Seo dalam studi ini secara simbolik mengisahkan sebuah GKJ yang beralamat di Solo-Surakarta, persisnya di Jalan Gatot Subroto 222. Ada GKJ Joyodiningratan di situ yang memiliki halaman dan kompleks yang sama dengan masjid Al-Hikmah. Saat Idul Adha misalnya, warga GKJ akan ikut berpesta dan berbagi daging kurban, akibatnya ibadah pagi gereja pun dipindahkan ke sore hari.
Bahkan ada peristiwa yang mengejutkan, yaitu saat datangnya permohonan dari pendeta agar suara adzan sedikit dikecilkan karena akan ada ibadah dan pesta penahbisan pendeta muda. Menjawab permohonan itu ternyata pihak mesjid sama sekali tidak menyalakan pengeras suara hari itu, dengan alasan mereka tokh bisa mendengar panggilan itu dari mesjid lain di tempat yang jauh. Ketika ditanya apa gerangan rahasianya sehingga pihak mesjid malah melakukan yang lebih dari yang diminta, pendeta jemaat itu, Widiatmo menjawab, “karena kami belajar tidak menonjolkan diri”.
Kisah simbolik ini sesungguhnya mencerminkan proses kompleks GKJ menemukan ulang modus kehadiran dan pengaruh politisnya. Dan menurut Seo hal itu adalah bagian dari perubahan mendasar GKJ, pertama-tama dengan menjadikan tokoh “sesat”-nya sebagai pahlawan iman, yaitu Kiai Sadrach. Sadrach dibangkitkan lagi, walau ia sejak tahun 1870an dicap sesat oleh para misionaris Belanda pendiri GKJ tersebut. Tapi kini ia dikenang ulang sebagai pelopor yang sesunggunya dari GKJ khususnya karena Sadrach mencoba mengakarkan iman Kisten dalam konteks budaya Jawa dan Islam.
Maka terjadi pulalah perubahan makna misi sendiri, dan itu setelah para misionaris asing tidak ada lagi yang bekerja di GKJ. Maka seluruh warga dan pendetanyalah yang menjadi pekabar Injil, tapi dengan modus baru: keterbukaan dan kesanggrahan lintas-agama, di mana batas-batas gereja dengan masyarakat umum menjadi cair. Dalam bahasa Seo, “terjadi keleluasaan mengenai siapa yang di dalam dan di luar gereja”.
Peristiwa yang unik terjadi pada jemaat GKJ Karangalit Salatiga, pasangan kawin-campur yang telah menempuh pengesahan di KUA, secara terbuka diterima menjadi warga gereja lagi. Menurut pendeta Trimin dari GKJ Susukan, tugas GKJ “...bukan membawa orang non-Kristen ke dalam atau menghalangi warga gereja ke luar, tetapi membuat semua orang tahu bahwa pintu GKJ selalu terbuka!”
Modus kesanggrahan yang cair ini diperkuat dengan karya publik GKJ melalui kerja-kerja bermodel LSM, mulai dengan Yayasan Trukajaya, yang membangun ulang pemukiman warga kampung di Lampung saat transmigrasi dulu, sampai ke pemberdayaan keuangan di desa-desa Jawa. Atau Yakkum yang memiliki hampir 4000 karyawan yang beragama majemuk, 11 rumahsakit, 20 klinik, 3 akademi keperawatan, lengkah dnegan pusat rehabilitasi dan farmasinya.
Politik Pengaruh
Maka memang, walau kelihatan tidak gempita dan tanpa bendera-bendera kejayaan, politik yang datang dari sikap oikoumenis GKJ ialah politik pengaruh. Malah keterbukaan oikoumenisnya diperluas dan direntang melampaui hubungan antargereja karena sudah sampai ke komunitas Islam. Dan semoga selanjutnya, karya transformatifnya jadi lebih leluasa dilakukannya.
Jelaslah bahwa modus keterlibatan seperti ini perlu menjadi cara kerja oikoumenis umat Kristen di Indonesia. Oikoumenisme sebagai gerakan keesaan umat Kristen perlu secara ajeg mencari tautan atau realisasi politisnya di ruang-ruang lokal, seperti dalam pengalaman GKJ ini. Wajah geakan oikoumene sesungguhnya ada di situ.
Maka bolehlah suatu saat nanti, masyarakat umum mencatat bahwa pernah dalam sejarah Indonesia, umat Kristen hadir secara terselubung, tapi bukan untuk konspirasi kristenisasi, tetapi untuk pengaruh kemaslahatan hidup bersama. Semoga!
Penulis adalah pendeta di Gereja Kristen Protestan Simalungun, dan pernah bekerja di sebuah lembaga oikoumenis (tahn 2009-2012,) yaitu di “Lutheran World Federation”.
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...