Memenuhi Hak Anak Disabilitas
SATUHARAPAN.COM - Penerimaan terhadap anak disabilitas di Indonesia ternyata masih memprihatinkan. Yang dimaksud anak dengan disabilitas adalah mereka dengan kesulitan atau mengalami gangguan menggunakan atau menggerakan tangannya, kesulitan atau gangguan penglihatan, pendengaran, mengalami gangguan perilaku atau emosional, kesulitan dan gangguan mengurus diri sendiri. Mereka juga mengalami gangguan berbicara atau memahami dalam berkomunikasi, gangguan naik tangga serta kesulitan mengingat ataupun berkonsentrasi.
Dari berbagai jenis disabilitas tersebut, sebagaian besar anak penyandang disabilitas masih mengalami stigma, tidak diakui dan tersisih bahkan mereka nyaris dilupakan oleh keluarga, masyarakat dan bahkan negara.
Jika ditelisik dari pemenuhan hak-haknya, anak disablitas jelas mengalami pengabaian, Mereka mengalami penolakan sejak mereka lahir ke dunia. Tak jarang mereka distigma bahkan dibully atau mengalami perundungan oleh lingkungan sekitarnya. Akibatnya mereka menjalani hidup terasing dan diasingkan dalam berbagai ruang kehidupan. Mereka tidak mendapatkan pemenuhan hak yang sama dengan anak-anak nondisablitas lainya.
Di bidang Pendidikan, anak-anak yang disabilitas masih sedikit yang bersekolah. Mereka tidak mendapat dukungan utuh dan penuh di sekolah umum, sehingga harus mencari sekolah khusus disabilitas. Meskipun sudah ada progam sekolah inklusif, namun kapasitas dan kuantitas guru pendamping untuk anak disablitas di sekolah inlkusif masih sangat terbatas jumlahnya. Pendek kata mereka mengalami kekerasan berlapis di tengah keluarga, sekolah dan masyarakat yang mengakibatkan mereka mengalami kekerasan fisik, psikis dan seksual hingga penelantaran.
Rendahnya Pemahaman
Akar penyebab dari pengabaian anak disablitas adalah rendahnya pemahaman orang tua, guru, dan lingkaran pendukung anak disablitas termasuk dari teman-teman sebaya. Bagi orang tua yang memiliki anak disabilitas, mereka masih dianggap aib sehingga keluarga cenderung menyembunyikan anak disabilitas. Bahkan anak disabilitas mental “dibuang” ke panti sosial oleh orang tua mereka. Beberapa diantara mereka ada yang diperlakukan tidak manusiawi, dikurung, dirantai bahkan dipasung.
Masyarakat kita kerap kali menjadi masyarakat yang kepo yang tidak bertanggung jawab. Pertanyaan mengenai mengapa ada anak disabilitas? Apa penyebabnya? Apa yang kamu lakukan sebagai orang tua sehingga anakmu disabilitas dan sebagainya? Intinya pertanyaan-pertanyaan kepo yang malah mendeskriditkan anak disablitas dan keluarganya.
Mari kita telusuri mengapa pemahaman tentang aib ini muncul? Dalam percakapan dalam Kitab Suci di Yohanes 9:2 ketika para Murid-murid Yesus bertanya tentang seorang yang buta sejak lahirnya, dengan pertanyaan demikian.
Murid-murid-Nya bertanya kepada-Nya: "Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orang tuanya, sehingga ia dilahirkan buta?". Pertanyaan ini nampaknya dilatar belakangi oleh tradisi atau kepercayaan lokal waktu itu bahwa anak-anak dengan disablitas seolah membawa “dosa” dan kesalahan sendiri atau dosa dan kesalahan orang tuanya. Pemahaman ini sangat berbahaya. Karena telah menstigma anak disablitas dengan stigma “spiritual” yang tentunya akan membuat mereka makin dijauhkan dan diasingkan dari lingkungan terdekatnya.
Oleh karenanya, rendahnya pemahaman ini dan didukung oleh kepercayaan lokal yang tidak menghargai harkat, martabat anak disablitas menjadi penyebab utama pengabaikan terhadap anak disabilitas. Beberapa kejadian viral tentang anak disabilitas yang distigma dan diperlakukan semena-mena.
Mengatasi Keterbatasan
Tindakan mengabaikan anak disabilitas harus dihentikan. Karena tindakan tersebut adalah tindakan yang tidak berperikemanusiaan. Pemahaman orang tua tentang anak disabilitas harus dikoreksi. Dalam prinsip pemandu, ketika melakukan pelatihan saluran harapan perlindungan anak dan gender, saya selalu melandaskan pada prinsip bahwa setiap anak adalah anugerah berharga dari Tuhan yang harus dihargai dan dicintai apapun keadaannya.
Dalam Kitab Suci juga ditunjukkan bagaimana keperbihakan Tuhan kepada anak-anak dan tidak menghendaki satu anakpun dikorbankan, dilecehkan, dieksploitasi atau mengalami kekerasan yang berlapis. Setiap lingkaran pelindung anak dari orang tua, keluarga, guru, lingkungan sekolah, guru sekolah minggu, guru mengaji, Pendeta, Ustadz, Kyai hingga anak-anak nondisablitas harus diberikan edukasi, informasi dan komunikasi untuk memperlakukan anak disablitas secara manusiawi.
Jawaban Yesus atas pertanyaan muridNya diatas memberikan arahan bahwa bukan kepo dan menstigma anak disabilitas yang dibutuhkan, melainkan bagaimana menolong dan memberdayakan anak-anak disabilitas meraih mimpi mimpi mereka ditengah keterbatasan.
Dalam Yohanes 9:3 Jawab Yesus: "Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia. Kata pekerjaan disini ditulis dalam bahasa Yunani dengan kata “ergon” yang artinya tindakan dan usaha kongkret. Jelas sekali bahwa setiap kita diminta untuk bertindak dan berusaha untuk menolong, memperhatikan, menjaga dan mendampingi tumbuh kembang anak disabilitas sebagai pekerjaan Tuhan yang harus dilakukan untuk mereka supaya meraih mimpi ditengah keterbatasan mereka.
Pengembangan potensi melalui seni musik, seni suara, seni tari, seni kerajinan tangan, bahkan seni industri kreatif dari anak-anak disablitas adalah bagian dari pemberdayaan mereka sambil terus memenuhi hak-hak mereka secara utuh dan penuh.
Kekerasan Sektarian di Suriah Tidak Sehebat Yang Dikhawatirk...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Penggulingan Bashar al Assad telah memunculkan harapan sementara bahwa war...