Menakar Peran Kartini Modern di Masa Pandemi
SATUHARAPAN.COM - Generasi masa kini perlu ditanamkan tentang pentingnya kesadaran bahwa keberhasilan Pembangunan Nasional di Indonesia sangat tergantung dari peran serta laki-laki dan perempuan sebagai pelaku dan pemanfaatan hasil pembangunan. Namun apa daya setelah proses baik yang kita bangun sejak Indonesia merdeka, lebih dari satu tahun ini hasil dan capaian itu digoncang oleh wabah pandemi Covid 19.
Pandemi Covid 19 nyaris telah meluluh lantakan pilar pembangunan yaitu pilar kesehatan masyarakat dan pilar ekonomi. Virus pandemi juga menjalar pada sendi-sendi kehidupan keluarga ditandai dengan hilangnya penghasilan keluarga akibat PHK (Pemutusan Hubungan Kerja), ataupun karena tata kelola dan ketahanan keluarga yang rapuh. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menjadi potret perilaku sebagai dampak krisis karena tidak cakapnya mengelola emosi dan stress yang datang bertubi kala pandemi. Bahkan bonus demografi Indonesia juga berpotensi berubah menjadi lost generation atau generasi yang hilang jika dampak pandemi tidak ditangani dengan baik. Salah satu masalah besar dampak pandemi yang dilaporkan adalah kejadian perkawinan anak yang meningkat di masa pandemi menjadi ujung pangkalnya. Masalah riiil ini dapat kita dekatkan dengan peringatan Hari Kartini yang diperingati setiap tanggal 21 April.
Semangat Kartini: Mencegah Perkawinan Anak
Peringatan Hari Kartini sejatinya memberikan kilas balik sejarah tentang perjuangan emansipasi perempuan diantara dominasi budaya feodal dan patriakarh. Di jamannya meskipun Kartini memiliki kecerdasan dan kemampuan mengakses pendidikan yang lebih tinggi, namun tak bisa digapainya dengan mudah. Kepercayaan dan budaya yang dihidupi saat itu tentang peran perempuan yang hanya dekat dengan urusan domestik, ditutup jalannya oleh perangkap-perangkap budaya dan sistem sosial yang membatasi. Gelora dan cita-cita Kartini masa lalu seolah mau mendobrak jeruji belenggu budaya dominasi patriakarh itu dengan surat-surat yang dikirimnya kepada kolega-koleganya. Habis gelap terbitlah terang adalah harapan yang ingin direngkuhnya di masa depan, supaya Kartini modern tak mengalami nasib yang sama seperti dirinya.
Salah satu kejadian paling marak sebagai dampak pandemi adalah meiningkatnya perkawinan anak usia dini. Putusnya pekerjaan orang tua, dan hilangnya kesempatan anak untuk sekolah entahkah karena hamil duluan karena pergaulan bebas, ataupun sengaja dikawinkan orang tua dan dijodohkan dengan sang pasangan untuk melepaskan diri dari jerat kemiskinan keluarga. Perkawinan anak terjadi karena berbagai alasan, namun apapun alasannya hal tersebut berbahaya terutama bagi anak perempuan. Selain pertumbuhan tulang akan terhambat dan berpotensi mengalami tulang keropos di masa tua, perempuan yang terlalu dini melakukan hubungan seksual berpeluang terkena kangker rahim. Dampak buruk dan kerugian yang dihadapi perempuan yang menikah saat usia anak-anak hingga kini masih belum banyak dipahami masyarakat.
Menurut UNICEF, sebuah perkawinan dikategorikan sebagai perkawinan dini (early marriage) atau juga disebut sebagai perkawinan anak-anak (child marriage) apabila ada salah satu pihak yang masih berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun atau masih remaja. Perkawinan dini menjadi salah satu persoalan yang terus dilakukan upaya untuk mengatasinya karena perkawinan dini menghasilkan banyak dampak negatif, tidak hanya bagi individu yang melakukan perkawinan dini tersebut, melainkan juga bagi negara karena dengan menikah dini, banyak anak- anak di Indonesia menjadi putus sekolah, akibatnya angka pengangguran di Indonesia menjadi meningkat dan kualitas SDM (Sumber Daya Manusia) semakin rendah. Perempuan yang mengalami pernikahan di usia dini juga akan mengalami resiko pada waktu melahirkan, dan berpotensi tak bisa mengasuh anaknya dengan baik, karena anak tak bisa mengasuh anak.
Kartini Modern: Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
Memperingati Hari Kartini harus diarahkan pada upaya membuka mata terhadap realita bahwa perempuan Indonesia harus diberdayakan dan anak-anak Indonesia harus dilindungi. Upaya pemberdayaan perempuan haruslah bersifat partisipatif, dan berangkat dari suara perempuan untuk mengembangkan kemampuanya berkontribusi terhadap keluarga, masyarakat dan bangsanya. Sedangkan peringatan Hari Kartini juga diarahkan pada upaya-upaya perlindungan anak, dari segala kekerasan, pelakuan salah, pengabaian dan eksploitasi.
Jika Kartini masa lalu bersura lantang dan jernih dengan menyuarakan pikiran-pikirannya, maka kini semua elemen masyarakat perlu juga melakukan upaya penyadaran dan pembelaan supaya budaya feodalisme dapat diredusir, khususnya yang melemahkan peran perempuan dan tidak berpihak pada upaya perlindungan anak. Selanjutnya ketimpangan pendidikan harus dijembatani melalui upaya-upaya seluas-luasnya dengan mendukung anak dapat sekolah melalui program BOS (Bantuan Operasional Sekolah), BSM (Bantuan Siswa Miskin), KIP (Kartu Indonesia Pintar), BIDIK MISI (Beasiswa Pendidikan Siswa Miskin), dan LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan) yaitu dukungan dana pendidikan untuk melanjutkan jenjang hingga S2 dan S3. Berharap peringatan Hari Kartini yang baru saja diperingati menjadi momentum untuk membangkitkan gerak langkah semua pemangku kepentingan untuk mewujudkan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan serta perlindungan anak yang holistik dan berkelanjutan sehingga kedepan lahir Kartini-Kartini modern yang berdaya untuk masa depan Indonesia yang lebih baik dan cemerlang.
Anil Dawan
Aktivis Sosial Kemanusiaan di WVI
AS Laporkan Kasus Flu Burung Parah Pertama pada Manusia
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Seorang pria di Louisiana, Amerika Serikat, menderita penyakit parah perta...