Menanam Cinta
Kalau cinta tumbuh di subur di tengah, niscaya orang datang dari segala penjuru, datang kepada cinta.
SATUHARAPAN.COM – Dunia ini indah. Hanya jika atmosfernya dipenuhi aroma cinta, semesta seperti berpihak kepada kita. Tetapi, ibarat atmosfer bumi sudah jebol dibobol sinar ultraviolet, segala makhluk mulai kena dampaknya. Kepanasan. Kedinginan. Kekeringan. Kebanjiran.
Begitu pun kalau bumi krisis cinta. Segala yang bernafas dibuatnya susah. Jangan heranlah kalau bencana terjadi, kalau teror marak, bahkan kalau manusia sudah menjadi monster. ”Begitulah (krisis) cinta, deritanya tiada akhir,” seloroh Cu Patkay murid Biksu Tong.
Mungkinlah keadaannya lebih buruk? Mungkin dong. Kalau kita, para penumpang bumi, cuma bisa jadi konsumen cinta yang stoknya sudah mepet. Sebaliknya, mungkinkah keadaannya membaik? Tentu saja kita punya peluang itu! Semailah cinta di tiap jengkal kita berpijak. Oh maaf, model begitu terlalu teoretis.
Begini saja, jadilah orang baik. Semua orang bisa kok menempuh jalan kebaikan karena memang demikian tujuan dari Penciptanya. Gampang jadi orang baik itu. Patokannya riil: tidak berkelakuan jahat kepada orang lain. Tinggal action-nya.
Misalnya saja, tidak nyinyirin orang lain pakai akun palsu di media sosial. Atau tidak mudah terprovokasi dengan pemberitaan tertentu. Media sosial memang menawarkan lahan bagi kita untuk menuangkan pendapat dan menyatakan sikap. Di media sosial, apa-apa ada. Topik jualan di media sosial beragam, persis pasar swalayan. Dagang pernik unyu, dagang gosip artis, dagang politik, dagang agama. Agaknya dua yang terakhir paling laris.
Namun, tidak semua orang punya sumbu panjang. Perang era sekarang bukan perang dengan angkat pedang, tetapi perang jempol dalam menulis komentar. Paling runyam, media sosial mengubah manusia menjadi zombie. Orang tak lagi peka dengan kondisi sekitarnya. Pilih pergi ke dunia maya. Jarak dipasang terhadap kawan karib dan saudara dekat, lantaran beda pandangan. Senjatanya adalah prasangka. Media sosial alih nama jadi media antisosial.
Di media sosial, orang yang mengambil sikap di tengah-tengah malah rawan dicurigai. Oleh orang Utara, ia dikira berdiri di Selatan. Oleh orang Selatan, ia dikira berdiri di Utara. Orang sisi kanan mengiranya prokiri. Orang sisi kiri mengiranya prokanan. Manusia Indonesia, tidak mau belajar sikap berdiri di tengah-tengah, begitu menurut Doni Febriando, seorang kawan lama di pers mahasiswa, seorang penulis buku, sekaligus fans berat Gusdur.
Padahal di tengah, walau tak enak, justru di situlah posisi strategis bagi kita untuk menumbuhkan cinta tadi, biji kebaikan tadi. Konkretnya? Hargai pendapat orang, dilarang emosi saat menanggapi sesuatu. Sebagai orang tengah, mestinya kita bisa membayangkan posisi dari sisi mana pun karena jaraknya dekat. Kalau cintanya tumbuh subur di tengah, niscaya orang datang dari segala penjuru, datang kepada cinta.
Email: inspirasi@satuharapan.com
Editor : Yoel M Indrasmoro
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...