Menanam Lebih Banyak Pohon Perangi Perubahan Iklim
OSLO, SATUHARAPAN.COM – Penanaman hutan dan kegiatan lain yang memanfaatkan kekuatan alam, dapat memainkan peran penting dalam membatasi pemanasan global di bawah kesepakatan Paris 2015, menurut laporan sebuah penelitian internasional yang dipublikasikan pada journal Proceedings of the National Academy of Sciences Amerika Serikat pada Senin (16/10) dilansir voanews.com.
Solusi iklim alami, termasuk perlindungan lahan gambut dengan penyimpanan karbon, dan pengelolaan tanah dan padang rumput yang lebih baik, dapat mencakup 37 persen dari semua tindakan yang dibutuhkan pada tahun 2030 di bawah rencana Paris 195 negara, katanya.
Gabungan, “regreening of the planet atau penghijauan planet, yang disarankan akan setara dengan menghentikan semua pembakaran minyak di seluruh dunia, katanya.
"Pengelolaan lahan yang lebih baik, dapat memiliki peran lebih besar dalam memerangi perubahan iklim daripada yang diperkirakan sebelumnya," tim peneliti internasional.
Perkiraan potensi alam, oleh penanaman hutan, meningkat 30 persen lebih tinggi daripada yang diperkirakan oleh tim peneliti iklim PBB pada sebuah laporan tahun 2014, katanya.
Pepohonan, dapat menyerap karbon menyerap panas saat mereka tumbuh dan melepaskannya saat mereka terbakar atau membusuk. Itu membuat hutan, dari Amazon sampai Siberia, penyimpanan gas rumah kaca yang sangat alami.
Secara keseluruhan, pengelolaan alam yang lebih baik dapat mencegah 11,3 miliar ton emisi karbon dioksida per tahun pada tahun 2030, kata studi tersebut, setara dengan emisi karbon dioksida Tiongkok saat ini dari penggunaan bahan bakar fosil.
Perjanjian iklim Paris, yang dilemahkan oleh keputusan Presiden Donald Trump pada AS pada bulan Juni untuk menarik diri, berusaha membatasi kenaikan suhu global menjadi "di bawah" dua derajat Celcius (3,6 Fahrenheit) di atas masa pra-industri.
Pemerintah saat ini berjanji untuk mengurangi emisi terlalu lemah untuk mencapai tujuan di bawah 2 derajat Celsius, untuk mencegah kekeringan, badai yang lebih kuat, hujan deras dan gelombang panas.
"Untungnya, penelitian ini menunjukkan bahwa kita memiliki kesempatan besar untuk membentuk kembali sistem penggunaan makanan dan lahan kita," Paul Polman, CEO Unilever, mengatakan dalam sebuah pernyataan temuan hari Senin (16/10).
Perubahan iklim, bisa membahayakan produksi tanaman pangan seperti jagung, gandum, beras dan kedelai bahkan saat permintaan populasi global meningkat, katanya.
"Jika kita serius dengan perubahan iklim, maka kita harus serius berinvestasi di alam," kata Mark Tercek, chief executive officer The Nature Conservancy, yang memimpin penelitian tersebut.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...