Menanti Remah Roti.
Kasih-Nya bagi semua.
SATUHARAPAN.COM – ”Lalu Yesus berangkat dari situ dan pergi ke daerah Tirus.” (Mrk. 7:24). Ketika melangkahkan kaki-Nya ke Tirus, Sang Guru jelas menganggap orang Tirus sama berharganya dengan orang Yahudi. Dan memang itulah yang terjadi dalam dua kisah selanjutnya.
Kisah pertama penuh dialog, terasa kasar. Ibu yang ingin anak perempuannya sembuh rela mengibaratkan dirinya sebagai anjing yang menanti remah-remah roti dari meja pemiliknya! Itu bukan sekadar sikap kerendahan hati. Juga bukan trik yang akan membuat Yesus iba. Sesungguhnya, pengibaratan itu merupakan ungkapan iman.
Perempuan Siro-Fenesia itu menyadari, berkait dengan penyelamatan Allah, manusia secara asasi bergantung penuh kepada Allah. Allahlah yang berdaulat.
Ibu itu tak mempersoalkan mengapa Allah memilih Israel. Pemilihan itu memang bukan soal adil atau tidak adil, namun persoalan kedaulatan. Dia menerima kedaulatan Allah tanpa syarat. Ibu itu agaknya juga menyadari, Allah memilih Israel untuk menjadi berkat bagi bangsa lain.
Perempuan Siro-Fenesia itu percaya bahwa kasih Tuhan tak hanya buat Israel. Israel hanya alat. Tak heran, dia berani mendebat Sang Guru dari Nazaret yang sedang naik daun itu.
Pengibaratan sebagai anjing, malah menjadi jalan masuk bagi perempuan itu untuk memohon anugerah Allah. Dia tak merasa perlu mendapatkan roti utuh. Remah-remah pun cukup baginya. Tampaknya dia paham, baik remah maupun utuh, toh namanya tetap roti. Dengan kata lain, yang penting bukan besar atau kecilnya anugerah, tetapi anugerah Allah itu sendiri. Yesus, yang mengagumi imannya, mengabulkan permohonannya.
Kisah kedua tiada dialog. Tak ada permintaan dari Si Sakit karena dia penderita bisu-tuli. Dia pun tak datang sendirian sebagaimana perempuan Siro-Fenesia itu. Orang-orang yang prihatin akan keadaannya membawa orang itu kepada Yesus. Yesus agaknya terkesan dengan keprihatinan mereka.
Yesus tampaknya juga melihat hasrat dalam diri si penderita. Memang tanpa kata. Namun, sorot mata dapat menyiratkan keinginan terdalam manusia. Yesus juga menyembuhkannya.
Kedua kisah penyembuhan tersebut memperlihatkan bahwa Yesus tidak membedakan orang. Dia mengasihi orang yang berani berargumentasi dengan-Nya, tetapi juga mengasihi orang yang tak mungkin mengucapkan keinginannya karena bisu. Yesus merasa kagum dengan iman perempuan itu, tetapi Dia juga tidak mengabaikan keberadaan si bisu-tuli. Sang Guru dari Nazaret tidak memandang muka. Semua orang berharga di mata-Nya. Kasih-Nya bagi semua.
Demikiankah kita?
Editor: ymindrasmoro
Email: inspirasi@satuharapan.com
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...