Mencari Ruang Bermain untuk Anak di Jakarta
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Akhir pekan lalu, media sosial sempat ramai saat seorang pria yang diduga menendang anak terekam dalam video. Video tersebut menunjukkan kejadian di Mal Kelapa Gading, di mana seorang anak kecil yang berada di dalam area ayunan tertabrak oleh ayunan yang sedang dimainkan anak lain. Ayah anak itu diduga menendang anak kecil yang sedang bermain di ayunan.
Mal dan taman bermain di dalamnya, adalah tempat anak Jakarta bermain. Bahkan sejak bayi mereka sudah dibawa ke mal, untuk sekadar jalan-jalan sampai diajak orang tua mereka menonton bioskop.
Perkara bayi dan balita yang diajak menonton bioskop ini juga menjadi diskusi seru di media sosial. Para penggemar film merasa terganggu dengan keberadaan bayi. Mereka juga khawatir dengan kesehatan bayi-bayi yang dibawa masuk ke bioskop.
Orang tua yang membawa bayinya ke bioskop, memberi alasan bahwa membawa anak ke bioskop adalah salah satu bentuk kompromi.
"Karena kalau enggak ajak Dz (nama anaknya), entah berapa purnama akan terlewati tanpa nonton bioskop," kata Viryani Kho, ibu yang menulis mengenai cara aman membawa bayi ke bioskop di akun Instagramnya.
Bayi Dz dibawa ke bioskop, untuk menonton sejak berumur enam bulan. Sering dibawa nonton, bayi Dz selalu tidur sepanjang film. Hanya sekali dia terbangun dan rewel. Ketika itu, ayahnya pun menggendongnya keluar dari bioskop.
Postingan Viryani ramai oleh komentar pro dan kontra. "Mau gimana lagi, masa jadi mamak ngurung diri di rumah terus, kalau bosen lama-lama stres," kata Melisa Josiah, salah satu yang berkomentar.
Direktur Rujak Centre for Urban Studies Elisa Sutanudjaja mengatakan, ruang untuk beraktivitas bagi keluarga dan anak di Jakarta memang masih kurang.
"Di Jakarta masih kurang. Memang ada banyak pilihan tapi kurang jauh jika dibanding dengan standar ibu kota negara lainnya," kata Elisa saat dihubungi BBC Indonesia.
Idealnya, ruang beraktivitas tersebut harus dekat dengan lingkungan tempat tinggal keluarga. "Harus ada ruang di sekitar tempat tinggal mereka, jadi kalau harus berkendara 25 km untuk ke car free day, itu tidak ideal," kata Elisa.
Menurut Elisa, ruang beraktivitas ini tak harus berupa ruang terbuka publik atau taman. Yang penting, sebuah ruang di mana keluarga bisa menghabiskan waktu bersama-sama, dan anak-anak bisa saling bersosialisasi.
"Bisa berupa perpustakaan, misalnya di Perpustakaan Nasional sekarang sudah buka akhir pekan, bagaimana dengan perpustakaan daerah?" kata Elisa.
Meskipun ruang bersama ini masih terbatas di Jakarta, menurut Elisa sebenarnya ada banyak potensi ruang publik yang bisa dimanfaatkan.
Setelah penggusuran bantaran sungai, terdapat ruang beton dengan lebar 15 meter sepanjang sungai.
"Ini potensi ruang publik yang bagus karena ada di pusat kota dan daerah padat penduduk. Sekarang karena tidak dipakai malah jadi ruang negatif, misalnya malah jadi tempat parkir liar atau tempat buang sampah," kata dia.
Padahal jika diidentifikasi dan didesain dengan baik, tempat tersebut bisa menjadi tempat alternatif untuk bermain keluarga.
Elisa juga mengatakan, potensi ruang lain bisa didapatkan di lahan kantor-kantor pemerintah. "Misalnya di kelurahan atau kecamatan, lahan luas justru dipakai untuk tempat parkir, padahal jika mau, pemerintah bisa menjadikannya jadi ruang beraktivitas untuk publik," kata dia.
Tak Bisa Menghindar dari Mal
Elisa juga adalah ibu seorang anak. Dia mengakui banaknya tidak diizinkan bermain sendirian di sekitar rumah, jika tidak ada keluarga yang mengawasi.
Mal masih jadi tempat tujuan beraktivitas, tapi dia berusaha membatasi kunjungan keluarganya ke mal. "Kalaupun ke mal, saya tidak berlama-lama, sesuai tujuan saja, misalnya ke toko buku, langsung pulang," kata dia. Sebagai alternatif kegiatan, dia mengajak anaknya ke Perpustakaan Nasional, car free day, atau berjalan-jalan di taman di kompleks perumahannya.
Cornila Desyana, ibu tiga anak, mengatakan sebisa mungkin dia membawa anak-anaknya bermain ke luar rumah ketika akhir pekan. Meskipun, sebenarnya anak-anaknya lebih suka bermain ke mal.
"Mereka suka ke mal karena banyak jajanan. Saya berusaha membatasi, sebulan cukup dua kali," kata Cornila.
Psikolog anak dari Klinik Sahabat Satu Hati, Surastuti Nurdadi, mengatakan, membawa anak-anak bermain ke mal justru memberi kesempatan mereka untuk bergaul.
"Tapi sebelumnya harus diajarkan dulu sejak di rumah, karena anak-anak akan membawa apa yang diajarkan dari rumah ke luar," kata Surastuti.
Di rumah, anak-anak harus diajarkan untuk tahu batasan di tempat umum, apa yang boleh dan tidak boleh. "Misalnya, harus belajar berbagi ruang dan mainan dengan anak lain, kapan menunggu giliran, dan cara menghargai orang lain," kata Surastuti.
Hal itu tak mungkin terjadi tanpa teladan dari orang tua.
"Orang tua harus memberi contoh, anak akan melihat bagaimana orang tuanya bersikap. Jika orang tua memberi contoh buruk, tentu saja anak akan bersikap seperti itu pula,” katanya. (bbc.com)
Editor : Sotyati
Dampak Childfree Pada Wanita
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Praktisi Kesehatan Masyarakat dr. Ngabila Salama membeberkan sejumlah dam...