Mencari Titik Temu Agama-agama
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Peningkatan praktik-praktik intoleransi keagamaan, khususnya dalam sepuluh tahun terakhir, telah menimbulkan kekhawatiran banyak pihak. Namun hal yang sama juga mendorong sebagian kalangan cendekiawan Muslim untuk mencari perspektif keagamaan yang lebih terbuka pada perubahan dan tantangan zaman.
Salah satunya, perspektif keagamaan yang diwariskan oleh alm. Nurcholis Madjid. Gagasannya tentang "Islam inklusif", yang ia kembangkan sejak 1992, diyakini dapat memberi kerangka teologis yang kokoh bagi kemajemukan dan perjuangan anti-diskriminasi saat ini.
"Apa yang dirintis Nurcholis Madjid sejak 1992 telah mengokohkan suatu perspektif mengenai demokrasi secara umum, termasuk pluralisme agama, yang secara konseptual-filosofis mendukung sepenuhnya perlindungan dan perkembangan toleransi dan kebebasan beragama di Indonesia," kata Budhy Munawar-Rachman. Penegasan itu dikemukakan Budhy saat mempertahankan disertasi doktornya, berjudul "Titik Temu Agama-agama: Analisis atas Islam Inklusif Nurcholis Madjid", di depan senat guru besar filsafat STF Driyarkara, Jakarta, Sabtu (26/04) lalu.
Seperti diingatkan Budhy, perspektif yang dikembangkan "Cak Nur", begitu biasanya alm. Nurcholis Madjid dipanggil, pernah menimbulkan kontroversi hebat di kalangan Muslim pada tahun 1970-an, bahkan sampai sekarang. Pasalnya, Cak Nur lebih menempatkan peran agama dalam wilayah politik ada pada tataran moralitas, bukan pada tataran politik praktis. Itulah sebabnya Cak Nur tegas menolak paham "Negara Islam", dan menyerukan pada tahun 1980-an semboyan, "Islam Yes, Partai Islam No!" yang dikenal luas.
Cak Nur juga sadar bahwa tanpa pandangan keagamaan yang inklusif tatanan demokrasi di Indonesia juga tidak dimungkinkan. Oleh karenanya ia mencari landasan teologis dalam Islam bagi titik temu agama-agama. "Dari Cak Nur kita mengenal konsep yang berasal dari Qur'an, yakni kalimat-un sawa', yakni keyakinan bahwa semua agama, pada tingkat transenden, bertemu dalam satu ultimate concern, sementara pada tingkat imanen dalam keprihatinan etis," ujarnya. "Dengan itu Cak Nur menyiapkan landasan teologis agar umat Islam dapat menerima sikap inklusif ini sehingga dapat mengembangkan paham keindonesiaan yang modern."
Model keberagamaan "Islam inklusif" itu, atau apa yang dulu dicetuskan Cak Nur sebagai "Islam yang hanif", merupakan antitesa terhadap model keberagamaan yang fundamentalistik dan bersifat kultus. Lewat analisisnya, Cak Nur menyimpulkan, model keberagamaan yang fundamentalistik dan kerap mengkultuskan individu tidak lagi cocok dan tidak memiliki masa depan, karena cenderung tertutup pada perkembangan kiwara dan berorientasi ke masa lampau.
"Perkembangan zaman dewasa ini membutuhkan corak keberagamaan yang berbeda sama sekali," tegas Budhy. "Kita memerlukan model keberagamaan yang lebih inklusif, terbuka, adil, dan demokratis. Ini yang diletakkan Cak Nur lewat 'Islam yang hanif', atau al-hanifiyah al-sambah, yakni keislaman yang terbuka pada kebenaran dan membawa pada kelapangan hidup." Di dalam model keberagamaan seperti itulah cita-cita Cak Nur mengenai kalimat-un sawa' dapat tercapai.
Budhy sangat yakin, gagasan-gagasan Cak Nur masih relevan, dan makin relevan, dengan situasi sekarang. Itu sebabnya, sejak meneruskan ke program doktoral di STF Driyarkara pada tahun 2006, ia bercita-cita menulis disertasi tentang pemikiran Cak Nur. Setelah melalui jalan berliku, yang sempat membuat ia frustasi, akhirnya Budhy berhasil menyelesaikan disertasinya dan meraih predikat "sangat memuaskan". Proficiat!
Laporan Ungkap Hari-hari Terakhir Bashar al Assad sebagai Pr...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Presiden terguling Suriah, Bashar al Assad, berada di Moskow untuk menghad...