Mencari Titik Temu Suni-Syiah
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Acara rutin forum Jumat pertama Jaringan Gusdurian Jakarta kemarin (7/02/14) di The Wahid Institute benar-benar beda. Kalau biasanya hanya puluhan orang, kebanyakan anak muda, menghadiri acara rutin untuk menelaah dan berbagi visi Gus Dur, kali ini mbludak dan membuat tempat penuh sesak.
Mungkin, seperti dikatakan Alissa Wahid, putri Gus Dur yang menjadi Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian kepada satuharapan.com, acara itu bagaikan oase bagi keingintahuan banyak orang tentang kemungkinan titik temu Suni-Syiah. Di luar Wahid Institute kan sulit orang menemukan tempat di mana soal seperti ini bisa dibahas dengan santai, katanya.
Memang, malam itu Jaringan Gusdurian Jakarta menghadirkan tema yang tergolong panas akhir-akhir ini, ketika aura kebencian dan permusuhan terhadap Syiah makin marak. Saya percaya pada dialog dan persahabatan, seperti berulang kali ditekankan Gus Dur, ujar Alissa. Itu nilai sangat penting yang diwariskan Gus Dur pada kita. Perbedaan harus disikapi dengan hormat, mengupayakan dialog dan perdamaian.
Dan dialog tentang tema yang panas itu justru mengalir cair, penuh canda, dengan menghadirkan Dr. Jalaluddin Rahmat, intelektual Syiah, dan K.H. Masdar F. Masudi, salah satu Ketua PBNU, serta dimoderatori oleh Zuhairi Misrawi. Apalagi dialog istimewa itu dibuka oleh grup musik sufi Zarb Ava dari Iran yang kebetulan sedang melawat ke Indonesia. Mereka akan pentas nanti di Bentara Budaya. Namun malam itu, atas fasilitas Kedutaan Besar Iran, beberapa nomor musik yang santai dan manis membuat suasana dialog berjalan cair.
Sebenarnya titik temu Suni-Syiah sangat banyak, justru titik pisahnya yang sangat sedikit, ujar Jalaluddin Rahmat. Ibaratnya, dari 1000 soal, 999 merupakan titik temu, dan hanya satu perbedaan yang menjadi titik pisah. Titik pisah ini pun, yakni soal apakah Nabi Muhammad sebelum wafat memberi wasiat siapa pengganti beliau atau tidak, juga bisa didialogkan dengan jernih.
Masalahnya, lanjut intelektual Syiah yang akrab disebut Kang Jalal dan kini terjun ke pentas politik dan menjadi Caleg untuk Bandung, kelompok-kelompok di luar sana, terutama kaum Wahabbi, suka memisah-misahkan titik pisah itu. Malah, bagi mereka, orang Suni maupun Syiah mempunyai titik temu lain: sama-sama dikafirkan.
Pernyataan Jalaluddin itu mengundang tawa hadirin dan diamini oleh Masdar Masudi. Seandainya umat Islam mau belajar dari sejarah, misalnya dari pertengkaran umat kristiani yang sudah berabad-abad berlangsung sebelumnya, maka kita bisa menghemat energi maupun waktu untuk urusan yang lebih penting, kata Masdar.
Bagi NU, menurut Masdar, perbedaan tafsir dan aturan fikih sudah lazim. Itu merupakan bagian dari kekayaan khasanah Islam yang diwarisi, ujarnya. Tugas kita adalah menjaga dan terus menerus mengembangkannya. Di situ dialog menjadi sangat penting. Dan Gus Dur merupakan teladan par excellence.
Hal ini diakui Kang Jalal. Sembari bergurau, ia meminta Alissa Wahid menjadikan dirinya ABG, alias Anak Buah Gus Dur.
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...