Menemukan Spiritualitas adalah Kunci Ziarah Keadilan dan Perdamaian
COATBRIDGE, SATUHARAPAN.COM – Sekretaris Jenderal Asosiasi World Council of Churches (WCC) atau Dewan Gereja Dunia, Isabel Apawo Phiri, mengatakan ziarah keadilan dan perdamaian adalah aktivitas menemukan nilai-nilai termasuk spiritualitas.
“Apa yang terjadi ketika kita melakukan ziarah, dalam hal ini ziarah keadilan dan perdamaian, dan berbagi nilai-nilai hidup dengan orang-orang yang juga memiliki nilai-nilai yang sama dengan kita, tetapi menerima atau menolak ajaran lembaga gereja?” kata Phiri saat menjadi pembicara utama pada konsultasi ziarah WCC di Coatbridge, Skotlandia, yang telah berlangsung 19-24 September.
Menurut situs resmi WCC, oikoumene.org, pada hari Rabu (28/9), ziarah tersebut mengambil tema "Spiritualitas, Pujian dan Pekabaran Injil: Mencari Spiritualitas Ekumenis dari Ziarah Keadilan dan Perdamaian".
“Apa artinya berada di ziarah keadilan dan perdamaian ketika generasi berikut berkeinginan membagi keprihatinan untuk keadilan dan perdamaian, dan bagaimana maknanya jika kita mengaku mengikuti Tuhan, tetapi tidak berbagi spiritualitas karena dibatasi oleh gereja dan tradisi?” dia menambahkan.
Umat Kristen dari seluruh dunia berkumpul melakukan beberapa aktivitas seperti merefleksikan Alkitab, berbagi pengalaman, berdoa dan bekerja bersama-sama.
Ziarah Keadilan dan Perdamaian merupakan inisiatif dari gereja-gereja anggota WCC untuk bekerja sama dalam memperbarui panggilan sejati gereja melalui keterlibatan kolaboratif dengan isu-isu yang paling penting, antara lain penyembuhan dunia yang penuh dengan konflik, ketidakadilan dan penderitaan.
Eksekutif Program WCC untuk kehidupan spiritual, Pdt Dr Ester Pudjo Widiasih, menjelaskan banyak umat Kristiani berkumpul untuk konsultasi ini dengan didasarkan pada kebutuhan untuk menemukan definisi dari spiritualitas.
“Atau dengan kata lain, spiritualitas, ziarah keadilan dan perdamaian terinspirasi oleh dokumen ‘Together Towards Life’ (Bersama Menuju Hidup) yang dikeluarkan ‘WCC Commission on World Mission and Evangelism’ selain itu ziarah in lebih dari sekadar mencari spiritualitas ekumenis, kami mengeksplorasi khususnya gagasan spiritualitas transformatif,” kata Ester.
Sementara itu Bruder dari Komunitas Monastic Bose, Italia, Guido Dotti mengatakan ziarah keadilan dan perdamaian merupakan ziarah yang dinamis dan senantiasa bergerak.
“Identitas setiap orang Kristen, setiap manusia, adalah sesuatu yang berubah bentuk setiap hari, tatkala kita berhadapan dengan orang lain, dan tatkala kita berjalan bersama-sama dengan yang melakukan ziarah dengan kita, tatkala kita menyeberang jalan dengan banyak orang, terlebih tatkala kita bersama dengan Firman Allah. Jika kita berpura-pura untuk menyelamatkan identitas kita dari awal ziarah sampai akhir, maka kita kehilangan tujuan ibadah ziarah ini,” kata dia.
Ester Widiasih mengatakan arti dari ziarah keadilan dan perdamaian adalah kebersamaan, berjalan, bekerja dan berdoa bersama. “Sebagai gereja, saya merasa kita perlu mempertimbangkan kembali sikap umum yang kita selalu memberi, memberi kepada orang-orang terpinggirkan, untuk mereka yang miskin, dan kepada banyak orang yang tidak benar-benar termasuk dalam percakapan sehari-hari,” kata dia.
“Sebaliknya, pada ziarah keadilan dan perdamaian kami ingin bekerja dengan banyak orang,” kata dia.
Ester Widiasih mengatakan penting bagi peserta ziarah mengambil pelajaran penting yakni mendefinisikan spiritualitas yang memberi hidup. “Yang jauh dari egoisme, dan pemisahan spiritualitas dari kehidupan kita sehari-hari. Meskipun spiritualitas dalam beberapa hal pribadi, itu tidak hanya harus menjadi sesuatu antara aku dan Tuhan. Sebaliknya, saya berharap kita dapat menemukan spiritualitas yang juga komunal, dan yang menghubungkan dengan jaringan kehidupan,” kata dia.
Eksekutif Program Misi dan Penginjilan WCC, Katalina Tahaafe Williams, mengatakan ketika umat Kristiani berbicara tentang ziarah terhadap orang termarjinalkan maka sesungguhnya jangan melupakan spiritualitas masyarakat adat.
“Kita berbicara tentang kelompok yang biasanya dikecualikan. Jadi ketika datang ke ziarah keadilan dan perdamaian, adalah penting bahwa kita termasuk suara dari kelompok marjinal, seperti masyarakat adat, karena mereka adalah sumber daya, mereka membawa pengalaman dan praktik, dan cara-cara mereka bertahan hidup, yang akan benar-benar membantu menginformasikan bahwa spiritualitas harus dikerjakan untuk semua umat Allah,” kata Williams.
Sementara itu Sekretaris “Church and Society Council in the Church of Scotland”, Martin Johnstone, berpikir ketika manusia berkeinginan menempatkan spiritualitas untuk golongan termarjinalkan maka biasanya manusia memiliki kecenderungan menjalankan spiritual dengan cara yang terlalu praktis.
“Tetapi jika kita menemukan berbagai jenis spiritualitas, saya percaya kita perlu mengenali spiritualitas orang-orang yang berada di pinggiran. Saya berpikir saat ini kita sering menjalankan spiritualitas kerapuhan, di mana kita kurang mengenali kekuatan dan kerentanan dalam diri kita, kelemahan kita. Bila melakukan ini, kita bisa perlahan-lahan mengikuti teladan Yesus, yang memilih menyembukan kelemahan dengan kekuatan,” kata dia. (oikoumene.org)
Editor : Sotyati
Daftar Pemenang The Best FIFA 2024
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Malam penganugerahan The Best FIFA Football Awards 2024 telah rampung dig...