Mengabdi di Pedalaman, Menempa Semangat Merah Putih
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – “Agak sulit awalnya menjelaskan ke orang tuaku dan akhirnya aku memilih ke pedalaman daripada menjalani pekerjaan di kantor yang berprestise tinggi.”
Menjalani pilihan menjadi pengajar pedalaman selepas menyandang gelar sarjana muda dari salah satu perguruan tinggi ternama di Yogyakarta merupakan jalan yang dipilih Nilam Pamularsih, salah satu peserta program SM3T (Sarjana mendidik di daerah terdepan, terluar dan tertinggal) dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Meneropong realitas pendidikan di daerah perbatasan menjadi mimpi yang kini berhasil diwujudkan perempuan asal Gunungkidul, Yogyakarta tersebut. Menempa semangat merah putih di salah satu daerah terluar di Indonesia telah ditempuhnya selama kurang lebih satu tahun ini.
“Saya merasa punya passion di bidang pendidikan dan mulai bergabung dengan organisasi di kampus, lalu mulai sering terbakar semangatnya untuk keliling Indonesia lihat kondisi real pendidikan di Indonesia itu seperti apa,” ujar Nilam seperti pesan elektroniknya yang dikirim ke satuharapan.com hari Kamis (13/8).
Melihat kenyataan memprihatinkan terhadap kondisi pendidikan Nusantara, yang masih jauh tertinggal dengan negara-negara mitra memantik semangat Nilam memberanikan diri mengunjungi salah satu daerah di penghujung utara Borneo, tepatnya di kecamatan Kabupaten Malinau, Provinsi Kalimantan Utara. Ia ditempatkan mengabdi di SDN 007 Malinau Barat.
“Aku dapat sendirian di daerah penempatanku. Aku sendiri di desa maupun di sekolah penempatanku. Jadi, di sini aku tinggal di rumah sendiri,” kata Nilam.
Hak Belajar Tak Diterima Baik
Di daerah penempatannya, secara kasat mata, kondisi fisik sekolah tak seburuk daerah-daerah lain yang membutuhkan perbaikan infrastruktur. Namun setelah didalami, ujar Nilam, perlu pembenahan fundamental, terlebih kesadaran siswa maupun guru untuk memberi dan menerima pengajaran.
“Kalau dilihat dari kuantitas guru sih banyak, tapi secara kualitas masih sangat kurang. Karena kualitas guru bisa dilihat dari output siswanya. Kelemahan guru di sini itu tentang kedisiplinan dan kemauan untuk belajar. Guru-guru di sini susah untuk datang tepat waktu ke sekolah.”
“Sekolahku mulai seharusnya jam 7.30 WIB, tetapi kadang guru datang jam 8.00 WIB, 8.30 WIB, atau malah jam 9.00 WIB. Itu karena di sini lemah pengawasan jadi ya begitulah yang terjadi. Siswa banyak tidak mendapat hak belajar dengan baik,” kata dia.
Diakuinya, sumber belajar siswa terhitung sangat kurang. Buku-buku pelajaran tak cukup lengkap. Sementara, jaringan telepon dan internet pun masih sangat buruk. Tak khayal, dalam sisi kualitas pendidikan, SD dengan jumlah siswa sebanyak 72 jiwa dengan delapan guru ini cukup tertinggal.
Namun, kondisi ini tak memudarkan semangat Nilam untuk mengabdi di ‘lahan hijau’ itu. Ia merasa harus menjadi orang pandai yang mau menyumbangkan kepandaiannya untuk orang lain.
“Seperti kata Pak Anies Baswedan, tanggung jawab orang-orang yang pernah terdidik adalah mendidik. Jadi aku merasa punya tanggung jawab juga sebagai orang yang pernah terdidik dengan baik untuk mendidik bangsaku dari hal yang paling kecil,” ungkap Nilam.
Baginya, janji kemerdekaan tentang “mencerdaskan kehidupan bangsa” harus dilunasi bersama-sama.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...