Mengapa Harus Iri?
SATUHARAPAN.COM – Tetangga saya, sebut saja Pak Sukarsa, hampir setahun tidak bekerja karena di-PHK. Walau demikian ia berusaha menjaga siklus tubuhnya dengan bangun pagi, pergi mencari pekerjaan dan pulang ke rumah pada sore harinya. Kami sering mengejar bus di pagi hari saat saya berangkat kerja. Dan ketika saya pulang kerja, dia pun baru pulang dari usahanya mencari pekerjaan. Meskipun pekerjaan yang ia cari seolah sembunyi, tidak ingin ditemui, namun dia tetap bersemangat. Wajahnya selalu segar. Dan setiap kali berbicara dengan dia, justru saya yang menjadi bersemangat untuk memberikan yang terbaik buat pekerjaan saya pada hari itu.
Tetangga saya yang lain, sebut juga Pak Tankerso, di-PHK juga beberapa bulan lalu, tetapi dia tidak seaktif Pak Sukarsa dalam mencari pekerjaan. Pak Tankerso sering menghabiskan waktu di rumah. Sesekali saja kami bertemu di halte bus pada pagi hari. Pak Tankerso selalu mengeluh dan jarang tertawa. Hati saya pun jadi susah sehabis berbicara dengan dia.
Suatu hari ada kabar gembira. Pak Sukarsa akhirnya mendapatkan pekerjaan tetap. Karena membiasakan diri sibuk, maka ia tidak perlu beradaptasi lagi dengan ritme hidup bekerja. Ketika saya dan Pak Tankerso bertemu lagi di halte, Pak Tankerso kembali mengeluh. Jujur ia mengatakan iri melihat Pak Sukarsa mendapatkan pekerjaan sementara ia masih menganggur. Saya hanya tersenyum mendengarkan keluhannya dan dalam hati berkata, ”Mengapa harus iri kalau kita tidak berusaha?”
Pak Tankerso dan Pak Sukarsa sama-sama mempunyai kesempatan. Namun, perbedaannya adalah sikap mereka dalam menggunakan waktu, semangat, motivasi, dan tenaga yang ada untuk mendapatkan keberhasilan itu. Pak Tankerso justru perlu bersyukur karena keberhasilan Pak Sukarsa seharusnya memacu dia untuk terus berusaha hingga mendapatkan pekerjaan lagi.
email: inspirasi@satuharapan.com
Ibu Kota India Tercekik Akibat Tingkat Polusi Udara 50 Kali ...
NEW DELHI, SATUHARAPAN.COM-Pihak berwenang di ibu kota India menutup sekolah, menghentikan pembangun...