Mengapa Ketua dan Anggota MKD Harus Dipanggil Yang Mulia?
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Sidang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR yang ditayangkan secara luas oleh berbagai saluran televisi dalam tiga hari terakhir memunculkan bermacam sorotan, termasuk hal di luar materi sidang itu sendiri. Salah satunya adalah perihal keharusan memakai sebutan Yang Mulia kepada ketua dan anggota MKD.
Di media sosial, ramai pernyataan sinis bahkan menjurus cemooh atas sebutan itu. Sebagian besar adalah karena predikat Yang Mulia bagi anggota DPR dianggap tidak mencerminkan kenyataan. Antara perbuatan dan sebutan seperti kata pepatah, "jauh panggang dari api."
Lebih tajam lagi sorotan itu, ialah karena ditengarai, sebutan Yang Mulia tersebut sesungguhnya bukan menjadi keharusan karena tidak ada dasar hukumnya. Ada anggapan, sebutan Yang Mulia hanya 'produksi' dan kemauan DPR dan MKD saja. Sebab dalam persidangan di pengadilan, tidak ada keharusan memanggil hakim maupun jaksa dengan predikat Yang Mulia.
Adanya persepsi bahwa DPR 'gila hormat' untuk dipanggil Yang Mulia, semakin kuat dengan beredarnya sebuah foto, yang antara lain dapat dilihat lewat akun twitter Budayawan dan mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo, Goenawan Mohammad. Pada foto yang dia unggah pada 3 Desember 2015, tampak sebuah kertas yang merupakan salah satu rambu persidangan, yang diletakkan di atas meja . Di duga ia ada di ruang sidang MKD. Isinya berupa permintaan agar ketua dan anggota MKD disapa dengan predikat Yang Mulia.
"Perhatian!!!! Bapak/Ibu/Sdr Peserta Sidang Yang Kami Hormati. Jangan Lupa untuk Penyebutan Anggota MKD dengan Sebutan Yang Mulia Pimpinan/Anggota MKD."
Goenawan Mohammad tidak menyebutkan dari mana memperoleh foto tersebut, namun foto tersebut telah mendapat banyak sekali komentar. Umumnya adalah mempertanyakan mengapa ada keharusan memanggil Yang Mulia. Selebihnya adalah kritik dan cemooh bahwa predikat itu tidak pantas disematkan kepada para anggota DPR, termasuk anggota MKD.
"Kasihan sekali, saking pengennya dapat penghargaan dari hamba-hamba, sampai harus diumumkan penyebutannya," tulis Sad Dian Utomo (@sad_dian).
"Similiar ga' kelakuan ama sebutan 'yang mulia' ini?" tanya Mima Siahaan @MinaCiaen.
"Anggota DPR mulia? Prettt sama mereka," kicau pengacara Tommy Sihotang lewat akun @tommysihotang.
Tidak Ada Dasar Hukum
Banyak yang berpendapat tidak ada dasar hukum pemanggilan Yang Mulia bagi ketua dan anggota MKD. Salah satunya adalah Ketua Umum DPN Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI), Luhut Pangaribuan.
"Mereka selalu bilang 'Yang Mulia' satu sama yang lain. Pertanyaannya, apakah ini benar menurut hukum kita? Jawabannya tidak benar," kata Luhut dalam acara pelantikan 32 advokat PERADI di Gedung LMPP, Jakarta Pusat, Kamis malam (3/12), sebagaimana dilansir oleh Gatra.
Menurut dia, hakim di pengadilan pun sebetulnya tidak harus disapa dengan Yang Mulia. Menurut Luhut, Peraturan Menteri Kehakiman tahun 1983 mengatur bahwa penyebutan kepada hakim hanyalah Saudara Hakim yang Terhormat dan bukan Yang Mulia.
Penelusuran satuharapan.com juga menemukan bahwa asal muasal Yang Mulia tersebut tidak ada pada Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 19 Tahun 2009 tentang Tata Tertib Persidangan (“PMK 19/2009”), walaupun sidang di MK sering menggunakan predikat Yang Mulia. Dalam peraturan ini diatur mengenai kewajiban para pihak, saksi, ahli, dan pengunjung sidang untuk menghormati hakim. Namun tidak ada kewajiban memanggil mereka dengan Yang Mulia.
Kewajiban yang diatur dalam Pasal 6 PMK 19/2009 adalah:
(1) Para pihak, saksi, ahli dan pengunjung sidang wajib:
a. Menempati tempat duduk yang telah disediakan serta duduk tertib dan sopan selama persidangan;
b. Menunjukkan sikap hormat kepada Majelis Hakim dengan sikap berdiri ketika Majelis Hakim memasuki dan meninggalkan ruangan sidang;
c. Memberi hormat kepada Majelis Hakim dengan membungkukkan badan setiap memasuki dan meninggalkan ruang persidangan.
(2) Dalam hal para pihak, saksi, dan ahli akan menyampaikan pendapat dan/atau tanggapannya, terlebih dahulu harus meminta dan/atau mendapat izin ketua sidang.
(3) Para pihak, saksi, dan ahli menyampaikan keterangannya setelah diberikan kesempatan oleh ketua sidang.
(4) Para pihak, saksi, dan ahli menyerahkan alat bukti atau berkas perkara lainnya dalam persidangan kepada Majelis Hakim Melalui panitra pengganti atau petugas persidangan yang ditugaskan untuk itu.
Dengan demikian, tidak ada keharusan seseorang yang menghadiri persidangan untuk menyebut hakim dengan sebutan “Yang Mulia”.
Yang Mulia Ternyata Berasal dari DPR
Keharusan menyebut Yang Mulia baru muncul dalam Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat RI Nomor 2 tahun 2015. Peraturan ini mengatur tentang Tata Beracara Mahkamah Kehormatan DPR RI. Pada pasal 18 ayat 3 dikatakan, "Pengadu, Teradu, Saksi, dan/atau Ahli wajib memanggil ketua dan anggota sidang dengan sebutan "Yang Mulia" selama sidang.
Selain kewajiban mengunakan panggilan Yang Mulia, para pengadu, teradu, saksi, ahli dan unit pendukung diwajibkan menjaga ketertiban, ketenangan dan kesopanan dalam ruangan. Mereka juga harus menempati tempat duduk yang disediakan, menunjukkan sikap hormat kepada pimpinan dan anggota MKD serta harus berpakaian sopan, rapi dan resmi.
Masih menurut Peraturan DPR, para pengadu, teradu, saksi, ahli dan unit pendukung tidak diperbolehkan membawa senjata dan/atau benda lain yang dapat membahayakan dan mengganggu persidangan. Tidak boeh pula melakukan perbuatan atau tingkah laku yang dapat merendahkan martabat persidangan. Juga tidak boleh mengaktifkan alat komunikasi, merusak dan/atau mengganggu fungsi dan sarana, orasarana dan perlengkapan persidangan.
Sebagai catatan,pasal 17 dan 18 yang mengatur Tata Tertib Sidang MKD DPR, hanya mencantumkan pengadu, teradu, saksi, ahli dan unit pendukung yang wajib menaatinya. Tidak disebutkan apakah ketua dan anggota MKD harus tunduk kepada tata tertib sidang tersebut.
Editor : Eben E. Siadari
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...