Mengapa Universitas Oxford di Inggris Hasilkan Banyak PM dan Presiden?
SATUHARAPAN.COM – Dalam persaingan untuk menjadi pemimpin Partai Konservatif - yang secara otomatis akan menjadi Perdana Menteri Inggris - sudah pasti akan ada satu pemenang: Universitas Oxford.
Kebanyakan elite Pemerintahan Inggris, dalam laporan Yuri Vendik dari BBC News Rusia, edisi 21 Juni 2019, bersekolah di universitas itu dan ini bukan kebetulan.
Tiga dari empat calon yang masih bersaing untuk memperebutkan posisi ketua Partai Konservatif bersekolah di Oxford.
Mereka adalah Boris Johnson, Michael Gove, dan Jeremy Hunt.
Hanya Savid Javid yang tidak berasal dari sana.
Awalnya ada 11 orang yang bersaing, delapan berkuliah di Oxford dan lima di antaranya berasal dari jurusan yang sama.
Dari 12 perdana menteri Inggris sejak Winston Churchill, sembilan bersekolah di Oxford.
Theresa May yang baru mengundurkan diri dari posisi perdana menteri bahkan bertemu suaminya, Philip, di Oxford.
Mereka dikenalkan oleh Benazir Bhutto, yang juga bersekolah di sana, dan kemudian menjadi Perdana Menteri Pakistan.
Pada dekade 1970-an, Bhutto merupakan ketua Oxford Union, salah satu klub debat paling bergengsi di Inggris.
Bergabung dengan klub ini merupakan bagian dari proses pembelajaran bagi mereka yang punya ambisi politik yang serius.
Theresa May (waktu itu namanya masih Theresa Brasier) dan para calon kuat PM Inggris saat ini, Boris Johnson, dan Michael Gove, pernah bergabung di sana.
Profesor Geoffrey Evans dari Universitas Oxford mengatakan bahwa itu semua terkait dengan koneksi.
“Kalau Anda kuliah di Oxford dan berhasil membuat kesan baik di klub debat, maka Anda akan bertemu dengan orang yang bisa membantu karier Anda di politik.”
Filosofi, Politik, dan Ekonomi
Pada tahun 1920, Universitas Oxford memperkenalkan jurusan yang diberi nama Filosofi, Politik dan Ekonomi, dikenal dengan nama PPE. Tak butuh waktu lama untuk jurusan ini meraih reputasi memunculkan para pemimpin dan kepala negara.
Dalam sejarahnya yang nyaris satu abad, jurusan ini telah menghasilkan nama-nama berikut:
•Tiga orang Perdana Menteri Inggris: Edward Heath, Harold Wilson, dan David Cameron.
•Tiga orang Perdana Menteri Australia: Tonny Abbot, Malcolm Fraser, dan Bob Hawke.
•Empat Perdana Menteri dan Presiden Pakistan: Liaqat Ali Khan, Zulfiqar Ali Bhutto, Benazir Bhutto, Imran Khan, dan Farooq Leghari.
•Dua Presiden Ghana: Kofi Abrefa Busia dan John Kufuor.
•Dua Perdana Menteri Thailand: Kukrit Pramoj dan Abhisit Vejjajiva.
•Seorang Perdana Menteri Peru: Pedro Pablo Kuczynski.
•Seorang penasihat negara Myanmar: Aung San Suu Kyi.
Mereka ini baru orang-orang yang berhasil mencapai posisi puncak saja.
Peraih Nobel Perdamaian Malala Yousafzai sekarang juga sedang kuliah di jurusan PPE di Oxford juga.
Elite yang Penuh Privilese
Proporsi yang berlebihan lulusan Oxford dalam elite pemerintahan terjadi jauh sebelum universitas itu sendiri.
“Universitas Oxford adalah puncak dari sistem pendidikan yang menolak mereka yang tumbuh tanpa latar belakang dan koneksi yang tepat,” kata Profesor Evans.
“Proses eliminasi terjadi sejak tahun-tahun awal pendidikan dan berlanjut di seluruh jenjang dalam sistem pendidikan.”
Sebagai salah satu universitas top dunia, Oxford menarik banyak mahasiswa yang cemerlang. Namun, kasus di Inggris, Oxford menjadi tempat bagi murid dari sekolah swasta mahal yang menghasilkan sejumlah besar murid yang berambisi besar.
Baru-baru ini Oxford berjanji akan memperbaiki hal ini dengan menerima lebih banyak mahasiswa dengan latar belakang murid yang kurang beruntung dan nilai yang lebih rendah.
Apa Buruknya?
Bagi mereka yang tak punya perangkat bantu seperti koneksi dan “garis darah”, mereka harus menghadapi perjuangan yang lebih keras.
Terlebih lagi, sistem pemilu di Inggris mempersulit kemungkinan adanya orang di luar sistem untuk membentuk partai baru yang bisa membuat mereka meraih cukup suara.
Artinya, orang-orang yang punya ambisi politik tak punya pilihan kecuali bertarung di dalam sistem melawan elite yang terlahir dengan privilese dan koneksi ini - dalam sistem dua partai dominan seperti sekarang.
Sekalipun begitu, tidak berarti tak ada harapan.
Orang-orang seperti Margaret Thatcher dan Theresa May berhasil meraih posisi tertinggi di Inggris sekalipun tidak terlahir dengan privilese.
Satu-satunya calon PM yang tidak berasal dari Oxford kali ini, Savid Javid, merupakan anak dari seorang imigran yang bekerja sebagai sopir bus.
Javid berhasil mendaki tangga kepemimpinan partai setelah ia sukses dalam kariernya sebagai bankir dan menjadi bagian dari elite.
Tidak ada cara pasti untuk mengukur apakah dominasi orang-orang dari latar belakang yang sama ini berakibat lebih baik atau buruk terhadap masyarakat.
Namun, hampir pasti Perdana Menteri Inggris berikut akan merupakan lulusan dari Oxford.(bbc.com)
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...